Kuat?

68 21 15
                                    

Vito duduk terdiam di balkon rumahnya, ia merasa sedikit linglung setelah menjawab banyak pertanyaan beberapa jam lalu, tiba-tiba saja ia merasakan hampa. Karena kejadian sore tadi, akhirnya rencana belajar kelompok di rumah Dio dibatalkan. Rumah Vito kembali ramai karena kehadiran teman-temannya, juga kawan barunya. Adit, Fariz dan Praja.

Praja, Dio dan Andre terlihat sedang sibuk bermain game online. Rama dan Fariz sedang asyik mengobrol tentang buku-buku yang menarik. Sedangkan Bobi dan Adit sedang asyik mengobrol di samping Vito.

"Jangan bengong, mau gue beliin makanan?" Bobi langsung berdiri dan duduk tepat di samping Vito. Adit pun ikut nimbrung bersama mereka berdua.

Vito hanya menggeleng, tatapan matanya kosong. Vito masih tidak mengerti dengan situasi yang ia alami saat ini. Ketika Brian izin ke toilet rumah Vito. Tiba-tiba setelah keluar dari toilet ia langsung menghampiri Vito dan memberikan semprotan merica. Tidak hanya itu, Brian pun memberikannya alat kejut listrik untuk menjaga diri. Brian berkata, Vito harus membawa dua alat itu kemana pun ia pergi. Dan ia mengatakan banyak hal lainnya pada Vito, kalau ia harus lebih waspada, menghindari tempat yang sepi dan jangan dulu berkeliaran atau bermain sendirian.

Brian bahkan meminta nomer ponsel Vito dan mengingatkannya untuk terus menjaga komunikasi dengannya. Apakah situasi yang Vito alami saat ini serumit itu? Kenapa rasanya semua malah menjadi semakin sulit untuk dijalani? Kenapa seorang anak SMA kelas 2 sepertinya harus terlibat dalam masalah ini? Tidak bisakah Vito hidup normal seperti anak lainnya? Hidup Vito semakin dipenuhi masalah begitu Jackson hadir di dalam hidupnya. Tapi, saat ini, nampaknya malah semakin bermasalah.

"Mau gue pesenin boba kesukaan lu, gak?" Bobi terus menanyai soal makanan pada Vito seolah ia sedang berusaha menghibur anak kecil yang akan merasa baikan jika dibelikan makanan dan minuman kesukaan.

Lagi-lagi Vito menggeleng enggan, "Okay, kalau ini m-," Bobi berhenti berbicara karena ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari Abel. Ia pun bergegas bangkit dari duduknya dan berjalan menuju taman rumah Vito dan mulai berbicara di telepon.

Adit menggeser posisi duduknya semakin mendekat pada Vito. Kemudian ia berujar," kan, gue bilang apa. Jangan ditanggung sendirian. Gue bersedia berbagi beban sama lu. Sekarang gue ngerasa tenang, karena buku catatan itu udah ada di tangan orang yang tepat. Lu gak perlu terlalu khawatir. Pak Brian dan Pak Rangga, ah, bukan, mereka gak mau gue panggil bapak. Kak Rangga dan kak Brian juga siap kok bantu lu. Dan itu memang udah tugas mereka untuk melindungi saksi. Lu gak perlu cemas berlebihan. Istirahat, jangan kecapaian. Pasti pusing tadi habis jawab pertanyaan yang bejibun gitu. Percaya sama mereka, mereka berdua terlihat berkompeten dan sungguh-sungguh."

Adit menatap wajah Vito yang pucat, ia lalu melanjutkan,"gue ngerti, lu masih shock karena kejadian tadi sore di Taman Kencana. Ditambah, tiba-tiba ada tamu yang bikin makin kaget. Tenangin diri lu dulu aja. It's okay." Adit lagi-lagi menepuk pundak Vito sambil tersenyum hangat. Vito merasa menjadi seorang adik yang begitu disayangi kakak lelakinya.

Vito lalu mengusap kedua matanya yang berkaca-kaca, "makasih banyak, Kak. Lu baik banget sama gue. Padahal kita belum lama kenal."

"Gak harus nunggu kenal lama dulu baru baik. Kita sama-sama manusia, dan apalagi sesama saudara muslim. Gue pernah ada di posisi dimana gue terpuruk dan butuh banget dukungan, tapi, waktu itu gak ada orang lain yang bisa dukung selain diri gue sendiri dan Tuhan. Jadi, gue tahu rasanya kayak gimana. Santai aja," Adit lalu terkekeh kecil, memperlihatkan jajaran giginya yang rapi dan putih.

Allahu Akbar
Allahu Akbar

"Adzan, cuy. Shalat maghrib, kuy!" Praja menyudahi permainan di ponselnya diikuti Dio dan Andre. Rama dan Fariz pun langsung bangkit dari duduknya, begitu juga Bobi yang menyudahi percakapannya di telepon.

PSIKE | TELAH TERBITWhere stories live. Discover now