Dia sudah kalah?

2.7K 202 5
                                    

"Semesta tak pernah berpihak padanya. Sedangkan takdir selalu mempermainkan nya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk ia bertahan?"

***

Hamparan laut biru nan entah dimana ujung nya itu memenuhi penglihatan Za. Matahari bersinar terik, cahayanya merembes menyentuh kulit.

Usaha memang tak selalu memberikan hasil yang kita inginkan. Namun usaha tak kan pernah mengkhianati hasil. Jika usaha memberikan hasil yang berbeda, mungkin tuhan sedang menunjukkan kepadamu, bahwa rencananya lebih baik dari rencana yang kamu punya.

Sekarang, Za sedikit percaya dengan kata itu.

Apa usahanya kurang? Apa niatnya salah? Atau, apakah ini karma untuk setiap perbuatannya?

"Gue bakalan balik, dan disaat itu kita harus ketemu." gumam Za. Mata itu kembali menatap tajam apapaun yang dilihatnya.

"Tuhan selalu punya rencana indah untuk setiap hal yang dia beri."

Za menoleh, menatap Gaven yang berdiri disampingnya. Pemuda itu yang menyelamatkannya. Setelah mendapatkan pertolongan, ia segera dikirim kedaratan, tak diperbolehkan untuk menetap tinggal di kapal.

"Kabari gue kalau ada hasil."

Gaven mengangguk.

"Lo tenang aja, tanpa lo bilang pun pasti gue lakuin." Gaven tersenyum singkat. Ia membawa Za ke pelukan nya, mengabaikan penolakan yang ia terima.

"Entah lo yang punya jantung adik gue atau gimana, tapi bilang sama dia. Disini banyak orang yang menunggunya, semua siap untuk jadi penopang disaat dia rapuh. Gue yakin adik gue masih hidup, walaupun dengan jantung yang berbeda." Gaven berujar dengan penuh keyakinan. Bukan hanya di mulut, namun hati dan pikirannya pun sangat yakin dengan apa yang ia ucapkan.

Za sedikit termangu, namun tak lama. Memejamkan mata sebentar, lalu ia mengurai pelukan Gaven.

"Gue pamit." ucap Za. Tanpa mendengarkan jawaban Gaven ia memasuki mobilnya dan segera pergi dari sana.

Meninggalkan Gaven yang memandangi mobil Za yang semakin menjauh. Satu tetes air lolos dari matanya. Beberapa hari belakangan air ini memang sering keluar, namun ia tak pernah menunjukkannya pada orang lain. Ia seharusnya jadi penguat, bukan malah dia yang harus dikuatkan oleh orang lain.

.

.

.

"Pudingnya enak loh mi," puji Vala dengan mulut yang penuh dengan puding.

"Betul tuh tan, puding buatan tante enak banget." timpal Zela.

"Habisin dulu puding nya, baru ngomong." Iska terkekeh kecil melihat kelakuan 2 gadis itu.

"Puding mami emang enak mi." Zola ikut bersuara.

"Iya dong, mami siapa dulu gitu?" ucap Vala bangga.

Iska menanggapinya dengan senyuman. Tatapannya berhenti pada Zela. Yaa, gadis itu kembali tinggal dengan mereka setelah sidang beberapa hari lalu.

Fakta bahwa dia bukan anak kandung Rahel dan Mutia sudah cukup mengguncang gadis itu, Iska tak ingin terlalu tergesa dalam langkahnya. Dia akan memberitahu Zela secara perlahan.

Sampai sekarang, Iska dan Arga belum buka suara mengenai orangtua kandung Zela. Gadis itu juga tak pernah bertanya. Iska mengerti, gadis itu perlu waktu untuk menenangkan diri dari semua fakta yang ia terima.

Yang Iska takutkan adalah Zela yang tak bisa menerima kedua orangtua kandungnya, bisa saja gadis itu memiliki banyak spekulasi buruk tentang orangtua kandungnya. Oleh karena itu, ia akan memberitahu Zela secara perlahan.

My (Bad) Life-ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang