"Bahagia itu sederhana. Cukup dengan menggila untuk menantang maut bersama-sama."
***
Dalam sepinya jalanan, Za mengemudikan mobilnya memecah heningnya suasana. Suara mesin mobil dengan kecepatan diatas rata-rata itu membuat keadaan terasa sedikit mencekam. Hari tak lagi siang, ini sudah tengah malam. Bahkan sudah memasuki hari baru sejak beberapa menit lalu.
Tia yang berada disamping Za hanya diam menatap jalan didepan sana. Sudah lama ia tak merasakan sensasi berkemudi ala Za. Rasanya masih sama, menyenangkan. Melatih adrenalin untuk berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Kenapa lo gak balik kerumah orang tua lo?" tanya Tia memecah keheningan.
"Balik? Tinggal disana aja gak pernah." balas Za dengan kaki yang menekan pedal gas lebih dalam lagi.
Jalanan ini masih sama seperti saat mereka lewati sebelumnya. Bahkan sekarang mereka kembali menjumpai banyak motor yang berhenti didepan sana.
Katakan saja mereka gila, sesudah acara promnight bukannya langsung pulang, Tia malah mengajak Za untuk kembali kejalanan ini. Jalan dimana ia pernah terlibat dengan aksi tawuran.
Dengan senang hati Za memenuhi keinginan Tia, hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih karena gadis itu sudah menggantikan tugasnya dengan sempurna.
"Yaah keadaan dan situasinya masih sama." kekeh Tia sambil memandang motor-motor yang berderet didepan sana. Bedanya sekarang mereka tidak menjumpai lagi aksi tawuran seperti saat itu. Hanya ada perkumpulan yang nampaknya sangat tenang.
"Mengacau dikit gak papa kali yaa?" seringai Tia mulai muncul. Ia memandang Za dengan tatapan mengajak gadis itu untuk ikut bergabung melakukan rencana gila miliknya.
"Lo aja, gue gak minat." ujar Za malah memberhentikan mobilnya dengan jarak yang lumayan jauh sebelum kumpulan motor-motor itu.
"Gak bisa gitu dong. Lo harus ikut. Gue udah bela-belaiin kerjain tugas lo, lo malah gak tahu diri gini?" sinis Tia tetap ingin mengajak Za.
"Kalo lo gila jangan ngajak-ngajak." balas Za malah memejamkan matanya.
"Kayak lo normal aja jadi orang."
"Seenggaknya gue gak gila."
"Gak gila lo bilang? Setelah semua yang lo lakuin lo bilang lo gak gila? Bahkan lo selalu nantang maut seolah-olah lo dan maut itu udah sahabatan." kesal Tia. Tentu saja ia tak terima, jika dibandingkan dengan Za, maka tingkat kegilaan gadis itu melebihi kapasitas gila yang ia miliki.
"Lo mau coba gimana enaknya berhadapan sama maut?" tanya Za dengan mata yang masih terpejam.
Tia mengembangkan senyumnya. Membuat masalah bersama rekan seperti Za sepertinya akan terasa menyenangkan. Tak ingin membuang waktu, ia langsung menganggukkan kepalanya dengan sangat antusias. Tapi sepertinya ia lupa satu hal, Za saat ini tengah memejamkan matanya, mana mungkin bisa melihat respon yang ia lakukan.
"Ayok kalo gitu." ucap Tia sembari memperbaiki posisi duduknya.
Samar namun pasti, salah satu ujung bibir Za tertarik keatas. Sesekali membuat ulah bukanlah masalah.
Ia melepaskan rem tangan yang tadi ia tarik, menukar gigi mobil lalu menekan pedal gas dengan tekanan yang lumayan kuat. Ia membelokkan stir mobil kearah motor-motor yang tengah terparkir rapi dipinggir jalan.
Iya, gadis gila itu menabraknya.
Tia sampai terkejut melihat dengan pikiran Za. Ia tak menduga kalau gadis itu akan berulah dengan cara ini. Lihatlah, beberapa motor yang harganya tak bisa ditaksir secara asal itu tergeletak dengan beberapa goresan yang menghiasi sisinya. Dan Za malah tersenyum seolah menikmati apa yang baru saja ia perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Teen FictionIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...