"Meminta imbalan bukan masalah bukan?"
***Pagi ini cuaca nampak sangat bersahabat. Matahari datang dengan sinar hangatnya. Senin pagi, adalah waktu yang paling sibuk diantara kalangan orang-orang. Ada yang harus berangkat sekolah untuk mengejar upacara bendera. Ada yang harus berangkat kekantor pagi-pagi, atau ada yang harus menghabiskan Senin paginya dengan tugas yang sudah menumpuk.
Hal itu juga dirasakan dikediaman Akalanka. Hanya saja, mereka nampak menjalaninya dengan tenang. Mereka masih berkumpul dikediaman utama Akalanka, karena memang seperti inilah biasanya. Mereka tidak langsung pulang dihari libur, melainkan berangkat dari kediaman ini menuju tempat kerja mereka masing-masing, kemudian baru langsung pulang.
Suara TV terdengar jelas keruang makan. Entahlah, yang biasanya suka menonton TV dipagi hari speerti ini adalah Vala. Perempuan itu menikmati masa-masa penganggurannya.
"Pesawat Chatay Pasific 2111 dengan rute penerbangan Italia-Indonesia jatuh diperairan laut Jawa sekitar pukul satu dini hari. Diduga hal ini terjadi karena kerusakan dibagian engine pesawat, sehingga pilot mengambil keputusan untuk mendarat lebih cepat dari perkiraan."
Berita itu tengah hangat diperbincangkan saat ini. Sudah banyak artikel-artikel yang berseliweran tentang jatuhnya pesawat Chatay Pasific 2111.
"Tadi malam berarti." Celetuk Zola.
"Tapi hebat yaa, beritanya langsung jadi trending topik gini." Vala yang tengah berjalan mendekat menimpali ucapan kakaknya.
"Ya iyalah dodol, ini nyawa orang woi." Respon Zola kesal.
Iska hanya mendengarkan perdebatan diantara putrinya. Nafsu makannya seolah hilang. Entah kenapa, dari tadi malam ia tidak bisa tenang. Seakan ada yang hilang dari dirinya. Bahkan sampai saat ini hatinya masih diliputi oleh rasa takut dan cemas akan sesuatu. Tapi ia tak tahu apa yang ia cemaskan tersebut.
"Tapi menurut gue pilotnya cerdas, bisa ngambil keputusan tepat waktu." Puji Gaven kegum akan keputusan yang diambil oleh pilot pesawat itu.
"Kalo gak cerdas gak mungkin jadi pilot mah om." Celetuk Leo.
"Anak kecil gak diajak." Balas Gaven.
"Gak perlu tuh ajakan dari om,"
Drrrrrt
Bunyi handphone menghentikan perdebatan antara paman dan keponakan itu. Atensi mereka teralih kearah Arga yang hanya melirik sekilas tanpa mau mengangkat panggilan tersebut. Memang begini, jika makan maka ia akan menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Baru mengurus urusan lain. Begitulah kebiasaan Arga.
Handphone itu kembali berbunyi. Mau tak mau Arga melihat siapa yang menelponnya dipagi hari seperti ini. Nama Axel terpampang jelas dilayar. Merasa ada hal penting yang ingin disampaikan pria itu, Arga menggeser tombol ikon hijau dilayar ponselnya.
"Kenapa?"
"Deraya Zekala Akalanka. Salah satu penumpang Chatay Pasific 2111 dari Italia menuju Indonesia."
Hening. Arga menatap istrinya sekilas. "Jangan bercanda Axel."
"Saya tidak berani untuk itu tuan."
"Putri saya berada di Inggris, bukan Italia."
Ucapan Arga tentu bisa didengar semua orang yang berada disana. Dari kalimat dan ekspresi yang pria itu tampilkan, mereka sadar ada yang tidak beres saat ini.
"Awalnya saya berpikir begitu tuan Arga. Tapi saya melihat sendiri daftar nama penumpang pesawat itu. Dan putri anda, Kala, adalah salah satu dari 291 penumpang."
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Bad) Life-END
Teen FictionIni tentang Za. Gadis yang terkesan tidak peduli dan bodoamat dengan lingkungan sekitar tempat ia berada. Sengaja menarik diri agar kehadirannya tak disadari oleh banyak pasang mata. "Gue benci manusia. Tapi gue lebih benci fakta bahwa gue juga manu...