Dua lengan panjang

338 24 6
                                    

Ekhem hallo

Kalau aku menyapa kalian artinya aku sedang rindu, loh hehe

Maaf ya untuk kakak-kakaknya yang lain belum bisa menyapa, tapi Koko dan Rere bawa titipan rindu dari mereka semua😊

Selamat membaca~

.
.
.

Suara bising langkah kaki dan teriakan cempreng dari putra bungsunya mengalihkan fokus seorang Pria yang baru saja pulang dari tugas pekerjaannya selama dua Minggu di luar kota.

Seragam yang masih melekat dan wajah masam penuh kelelahan memandang khawatir pada kedua putranya yang berlarian menuruni tangga untuk menyambutnya di ruang tengah.

" Hati-hati! Kenapa harus berlarian di tangga sih Ko " tegurnya kepada putra sulungnya yang sudah berada di hadapannya lebih dulu, disusul sikecil bungsu yang terlihat kesal dengan beberapa lebar kertas ditangannya.

" Papi kenapa sudah pulang? Bukannya pesawatnya baru dapat jadwal terbang besok? " Seakan tak mendengar, Auris mengalihkan pembicaraan seraya meraih tangan kekar sang ayah untuk di salami, diikuti Rere setelahnya.

" Tidak senang kalau Papi pulang lebih awal? "

" Senang! Lele senang! " Sikecil yang tertutup tubuh tinggi kakaknya berjingkrak dengan lembaran kertas yang mengacung diatas kepalanya.

Agrivin Nikolas tersenyum gemas, mengusap sayang surai hitam lebat yang lembut nan harum milik bungsunya. Kemudian terkekeh saat putranya yang bertubuh tinggi hampir menyainginya, dengan jahil memberhentikan aksi sang adik dengan memundurkan bokongnya hingga menabrak tubuh kecil itu yang seketika berhenti berjingkrak.

Rere dengan kesal mengepal kedua tangan mungilnya dan memukul bokong sang kakak. Membuat lembaran kertas yang sejak tadi dipegangnya sedikit kusut tertekuk.

" Koko ih bau " hidung kecilnya Rere kerucutkan hingga menghasilkan kerutan-kerutan disekitar wajah. Bergaya seakan mencium sesuatu yang buruk dari bokong sang kakak.

" Enak saja! Rasakan nih! Hahaha " Auris semakin menempelkan bokongnya hingga Rere mengambil langkah mundur beberapa kali.

Agrivin hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah kedua putranya. Dalam hati bersyukur karena disuguhkan adegan menggemaskan setelah meregang lelah dari pekerjaan yang menumpuk ditambah perjalanannya yang cukup jauh dan melelahkan.

" Koko ih! Lele gigit ya! " Ancam sikecil menggertakan gigi susunya yang berhasil membuat Auris menghentikan aksinya untuk menghindar.

Setelah situasi aman terkendali, Rere mendekat pada sang ayah yang duduk di atas sofa fokus pada ponselnya. Sangat sibuk, bahkan baru sampai dirumah saja, belum sempat mengganti pakaian dan membersihkan diri, ayahnya masih saja di recoki oleh urusan pekerjaan.

Rere mendekat, duduk disamping ayahnya, memandangi lembaran kertas penuh sapuan krayon warna-warni yang hendak di perlihatkan oleh ayahnya. Mengabaikan sang kakak yang menjauh menuju dapur mungkin untuk membuatkan air minum untuk sang ayah.

" Papi " panggil Rere dengan manis " Ini... lele tadi gambal ini " di julurkannya lembaran kertas itu dengan malu-malu.

Agrivin yang melepaskan sekilas fokusnya dari ponsel meraih lembaran kertas itu dengan sebelumnya memberikan senyum pada putra kecilnya.

Belum sampai kedua netra tegasnya memandangi karya tangan sikecil, ponselnya berdering nyaring menampilkan panggilan dari seseorang yang tidak Rere ketahui dari siapa, karena memang ia masih belum bisa mengeja kata dengan banyak susunan huruf.

Lembaran itu diletakkan begitu saja diatas meja, Agrivin bangkit berdiri dengan tergesa, mengambil jarak untuk mengangkat panggilannya.

Rere memperhatikan setiap gerak-gerik sang ayah, dengan diakhiri tatapan miris pada lembaran yang tergeletak tak berharga diatas meja. Jangankan memberikan tanggapan atau pujian, bahkan sang ayah belum sempat memperhatikan dengan jelas gambar-gambar yang dibuatnya.

Setelah mematikan panggilan pada ponselnya, Agrivin dengan wajah serius tanpa sempat membersihkan diri atau bahkan mengganti pakaiannya, pamit pada putra sulungnya untuk pergi keluar sebentar. Urusan pekerjaan katanya.

Selain pekerjaannya sebagai manager di suatu perusahaan swasta, Agrivin memiliki beberapa bisnis bersama rekan-rekannya. Jika tidak sedang bekerja di kantor, seringkali pria berusia kepala 4 itu mengunjungi tempat bisnisnya yang dikelola secara langsung oleh rekannya.

Setelah mendapat persetujuan, Agrivin juga meminta agar Auris tidak perlu memasak makan malam karena ia akan membelinya saat pulang kerumah nanti. Karena urusannya hanya sebentar, ia akan ada dirumah saat makan malam tiba.

Tanpa memperhatikan Rere yang sudah menyendu di atas sofa, Agrivin mengusap sekilas puncak kepala sikecil dan berlalu begitu saja.

Lembaran diatas meja Rere ambil, dibawanya dalam genggaman seraya memandangi kepergian sang ayah dari balik jendela. Maniknya yang berkilau kini meredup menghantarkan kepergian mobil sang ayah dari jarak pandangnya.

Dipandanginya lagi lembaran penuh warna itu, berkelana dalam perandaian kalau saja sang ayah sempat memberikan respon pada karya-karyanya dan menatap bangga dan mengucapkan rangkaian pujian padanya, pasti rasanya akan sangat menyenangkan.

Tanpa disadari, Auris sudah berada di dekatnya, menatap tak kalah sendu pada sosok kecil dengan karya yang dengan sungguh-sungguh dibuat oleh kedua tangan mungilnya. Hal yang selalu di benci oleh Auris.

" Coba Koko lihat " Rere berbalik terkejut, dengan cepat merubah kesenduannya menjadi binar terang. Dengan semangat mengangkat lembaran itu kehadapan sang kakak.

Auris menelisik, mengangguk-angguk seakan tengah mencari makna dalam gambar khas bocah taman kanak-kanak itu. Warna yang full memenuhi isi lembar dan beberapa gambar yang ia duga sebagai wujud manusia menjadi celah dalam responnya.

" Ini gambar papi, Koko dan Rere? "
Sikecil mengangguk dengan semangat, senang karena kakaknya bisa mengerti dengan mudah.

" Yang biru ini Koko? "

" Iya! Yang kuning lele dan yang melah papi " Rere berjinjit untuk dapat melihat lembaran kertas ditangan kakaknya.

" Kenapa tangan Koko panjang banget? "

" Tangan Koko kan memang panjang, tangan lele pendek. Lebih panjang tangan Koko " tangan gempal yang pendek itu direntangkan kedepan, bermaksud untuk menunjukkannya sebagai sebuah bukti.

Auris menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, menatap miris pada sosok dirinya di dalam kertas.

" Iya sih, tapi kan tidak panjang banget", Kertas gambar itu di hadapkan tepat di depan wajah sikecil "Lihat, Koko punya dua lengan panjang begini jadi seperti orang utan "

" Pffttt.. hahahha Olang utan. Koko sepelti Olang utan " suara tawa renyah Rere mengudara, tangan kecilnya menepuk-nepuk pinggang Auris melampiaskan gelitik dalam perutnya.

Membayangkan sang kakak menyerupai hewan bertangan panjang yang pernah Rere lihat di kebun binatang sungguh lucu menurutnya.

Wajah Auris mengerut masam, tak suka pada respon Rere yanh justru terlihat teramat senang alih-alih merasa bersalah.

" Heh! Ketawa lagi, masih berani ya ketawa setelah membuat Koko seperti orang utan?" Tangan kanan Rere dicengkramnya pelan, menariknya mendekat untuk diangkat dalam gendongannya.

Tubuh Rere itu kecil, pendek dan cukup ringan, sehingga mudah untuk di angkat secara tiba-tiba. Tidak seperti Arga tetangga mereka yang seumuran dengan Rere berbadan gempal.

Rere menggeliat dalam tawa. Tak kuasa menahan jari jemari panjang kakaknya."Hahaha ampun Koko geli "

Tangan kiri Auris menopang tubuh Rere yang bergerak heboh agar tidak terjatuh sedangkan tangan kanannya menggelitiki perut dan leher sikecil sebagai hukuman atas ketidaksesuaian gambar yang ia buat.

Rere yang masih tertawa karena lelucon tentang orang utan itu menikmati dengan tubuh yang menggeliat geli, melupakan kesedihannya beberapa saat yang lalu~

.
.
.

Sangat diperbolehkan untuk meninggalkan pendapatnya dalam komentar ya, begitupun vote jika menyukai cerita ini

See you

Koko dan RereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang