Tujuh anak laki-laki

152 15 2
                                    

Menjalani keseharian hanya berdua dengan sang adik terkadang menjadi keuntungan tersendiri untuk Auris. Keadaan rumah besar yang sepi dan tak pernah kehabisan stok makanan, membuat kediamannya selalu menjadi sasaran untuk tempat berkumpul teman-temannya.

Jika semasa sekolah menengah pertama hampir setiap minggu teman-teman Auris mengambil kesempatan untuk bisa mengunjungi rumah Auris dengan beragam alasan, setelah duduk di bangku universitas pun teman-teman sekolah Auris masih sering berkumpul di sana meskipun sudah berbeda jurusan bahkan universitas.

Auris sendiri sebenarnya enggan menjamu mereka dengan baik. Seringkali beralasan agar teman-temannya itu tidak datang tanpa tujuan. Namun, karena sudah terlalu sering dan terlalu biasa berkunjung, mereka sudah ditahap menganggap rumah Auris sebagai rumahnya sendiri, datang tanpa persetujuan dan tak merasa canggung meski jelas tak disambut dengan baik.

Seperti hari ini, Auris baru saja pulang menjemput Rere dari taman kanak-kanak, teman - temannya sudah menunggu mereka di teras rumah. Lihat, bahkan mereka sudah tak sungkan melewati pagar besi yang menjulang tinggi itu hanya untuk dapat tempat berteduh selama menunggu.

" Eoh? Ada teman-teman Koko! " Pekik Rere saat motor Auris berhenti di halaman depan rumah setelah melewati pagar besi yang terbuka dengan mudah.

Keduanya disambut riang oleh segerombolan anak laki-laki tak asing yang duduk di gazebo taman.

" Hati- hati! " Peringat Auris saat adiknya turun dengan tergesa-gesa. Sebelah tangannya menyanggah tubuh sang adik.

" Hai " sapa Rere lucu tepat saat kakinya berhenti berlari di depan segerombolan remaja yang menyambutnya antusias. Tangan kanannya melambai sedangkan tangan lainnya menggenggam kotak peralatan mewarnai miliknya.

" Hai Rere, baru pulang sekolah ya? " Sapa salah satu remaja dengan topi berlogo convirse di sisi depannya.

Selain makanan dan tempat nyaman untuk berkumpul, gumpalan daging yang tak pernah kehabisan energi adalah alasan mereka selalu rindu bertandang kemari.

Bocah 6 tahun itu menganggukkan kepalanya yang masih memakai helm seukuran kepalanya bergambar kartun mobil bus berwarna biru.

Rere itu senang sekali kalau ada tamu yang berkunjung, artinya rumah mereka akan lebih ramai dan bocah pecinta krayon itu akan punya teman bermain. Tapi sayangnya, seberapapun seringnya sekelompok remaja itu mengunjungi rumahnya, Rere masih saja belum hafal nama-nama dan wajah mereka. Ia hanya akan memanggil dengan sebutan yang dibuatnya berdasarkan ciri khas dari setiap mereka.

" Iya Koko topi, lele tadi melihat agla belmain kotak game yang sepelti hp nya Koko ulis. Tapi kata agla ngga bisa untuk telpon "

Sekelompok remaja itu saling pandang selama bocah kecil itu berbicara, pasalnya mereka seringkali tak memahami arti dari ucapannya. Bertanya melalui telepati kali saja diantara mereka ada yang memahaminya.

" Maksudnya gameboot. Temannya ada yang membawa gameboot kesekolah dan Rere bilang bendanya kotak seperti ponsel tapi ngga bisa dipakai menelpon " jelas Auris yang menyusul di belakang.

Remaja yang dipanggil 'koko topi' oleh Rere tertawa gemas, disusul teman-temannya yang lain.

" Astaga, ku kira apa. Memang Rere ngga punya game semacam itu? " tanyanya pada Auris.

" Engga. Rere belum papi izinin punya game-game kayak gitu. Lebih baik Rere bermain mainan anak seusianya dan banyak belajar " jelas Auris menirukan persis perkataan sang ayah.

" Supaya pintal kata papi " tambah bocah kecil itu.

Mereka mengangguk serempak, mengerti bahwa orang tua kakak beradik itu cukup selektif tentang apapun perihal putra-putranya.

Koko dan RereWhere stories live. Discover now