sepuluh lebih besar

150 18 16
                                    

Dentingan sendok dengan piring kaca beradu riuh dengan celotehan cempreng bibir kecil Rere selalu menjadi latar disetiap kegiatan menyantap makanan di meja makan.

Kali ini topik pembicaraan sikecil adalah salah satu adegan film kartun kesukaannya yang ditonton sebelum makan malam itu berlangsung. Auris dan Agrivin hanya diam mendengarkan dengan tangan dan mulut sibuk mengunyah.

" Habiskan dulu makananmu baru bicara lagi " Auris memasukkan seekor udang balut tepung goreng berukuran besar kedalam mulut Adiknya saat terbuka.

Rere mendengus dengan mulut penuhnya, menatap kakaknya dengan kesal. Wajah kecilnya begitu menggemaskan saat pipi mengembangkan itu mengunyah malas. Melihat respon adiknya, muncul ide jahil di pikiran Auris. Kali saja sang ayah bisa diajak bekerjasama untuk menjahili sikecil.

" Pi, masa Rere dapat peringkat 9 disekolah " ucap Auris memecah keheningan yang sempat mendominasi.

Dengan suara tenang Agrivin menanggapi, "dari berapa siswa? " Tanyanya.

" 12? Setiap kelas muridnya ngga banyak " Jawab Auris ragu.

Pergerakan sendok Agrivin terhenti, wajahnya terangkat menatap sisulung tak percaya. " 9 dari 12 ? Itu hampir urutan terakhir kan? " suara Agrivin terdengar tidak ramah.

Auris mendongak, kemudian mengangguk. Sang adik yang duduk disampingnya ikut menatap wajah terkejut ayahnya, pipi besarnya berhenti bergerak.

" Kok bisa? Koko saja selalu juara 3 besar di kelas selama sekolah " ujar Agrivin lagi kali ini mengarahkan pandangannya pada si bungsu yang berhenti mengunyah. Isi kepalanya ikut berpikir mencari jawaban sang ayah.

Rere menggeleng tidak tahu dengan pelan dan penuh kebingungan saat netra sang ayah masih menatapnya menuntut jawaban. Perasaan takut dan bersalah mulai menyerangnya.

" Rere ngga belajar? "

" Belajal " jawab Rere cepat. Memalingkan wajah pada sang kakak meminta dukungan sebagai saksi dalam kesehariannya.

Menyadari suasana ruang makan yang mendadak tegang tak sesuai rencana, Auris bangkit berdiri menuju ruang tengah untuk mengambil kertas hasil belajar adiknya kemudian memberikannya kepada sang ayah.

" Ini hasil belajarnya. Bunda Tuti memuji Rere yang aktif dan mudah bergaul. Nilai Rere tinggi di bidang kreativitas, dan seni, Pi. Tapi Rere lemah di calistung " Jelas Auris selama sang ayah membaca selembar kertas hasil belajar si bungsu.

Sebuh hembusan nafas rendah dan berat terdengar, "Rere sih menggambar terus. Rere harus lebih banyak belajar membaca, menulis dan berhitung " ucap Agrivin seraya menggeser kertas hasil belajar itu sedikit menjauh dari hadapannya dan kembali melanjutkan makannnya.

Rere perlahan merunduk, mulutnya yang masih mengembang penuh makanan berhenti bergerak karena bibirnya bergetar menekuk kebawah.

Seingatnya dulu, saat kakaknya pulang dengan menyerahkan hasil belajarnya pada sang ayah, kakaknya akan menerima pujian, ayahnya akan tersenyum cerah sekali dengan usapan bahkan pelukan hangat sebagai ungkapan bangga.

Namun, ayah tidak melakukan itu padanya padahal hasil belajarnya sudah sampai ditangan sang ayah. Justru kecewa dan gurat putus asa yang Rere baca dari sang ayah.

Angka 9 hanyalah angka bagi Rere yang baru dapat menghitung 1- 30 dengan benar tanpa tau maknanya. Pun hasil belajar baik atau buruk, besar atau kecil sama sekali belum bisa sikecil pahami kendati sepanjang hari kakaknya selalu membicarakannya. Jadi sangat wajar jika ekspresi sang ayah menyakiti hatinya tanpa tau sebab musababnya.

Ruang makan kembali lenggang, hanya dentingan sendok dan piring tanpa celotehan cempreng sikecil yang menjadi latar.

Lauk dan nasi Rere menyisahkan separuh lagi. Dengan cepat Rere melahapnya dengan sendokan besar, memaksa mulutnya yang minim untuk menampung suapan maksimal. Membungkam mulutnya yang tak bisa diam barang sejenak untuk lebih menikmati desiran sesak dalam dadanya. Diam-diam dengan perlahan menghapus bening kecil yang menetes dari ujung netra sempitnya yang meluncur bebas di pipi besarnya.

Koko dan RereOnde histórias criam vida. Descubra agora