Chapter 04: But you're not

1.4K 199 28
                                    

Seminggu berlalu, tidak banyak yang berubah selain Jake yang sudah pindah ke kamarnya.

Interaksi kami masih seperti orang asing yang tinggal di satu bangunan kost. Kadang dia malah sengaja nunggu gue masuk kamar buat keluar buka kulkas.

Kata Juan; temen dari komplek sebelah, orang-orang di kostnya begitu.

Napsu makannya beneran kacau, seperti apa yang dia bilang ke oma. Makanan dengan kandungan susu dia nggak bisa makan. Sama kayak gue; Jake juga musuhan sama sayur, dikasi nasi dia muntah karena nggak suka baunya jadi harus dikecapin dulu.

Akhirnya dia cuma mau makan ayam goreng kayak Upin Ipin, sisanya telur, buah dan makanan lain yang nggak dia suka tapi mau nggak mau harus makan buat bertahan hidup.

Tuh, gue sampe hapal saking rewelnya si tuyul.

Bunda sekarang jadi rajin browsing resep makanan, bahkan di riwayat searching bar googlenya kebanyakan tulisan kayak 'cara membuat roti simple.' 'cara membuat sayur tapi tidak terasa seperti sayur.'

Bunda memang the best!

Ayah juga sering pulang bawa bahan dapur; yang isinya kebanyakan daging untuk bikin steak, karena hanya itu yang bisa Jake makan tanpa keberatan.

Gue? Dengan senang hati membantu apa saja yang bisa gue bantu, termasuk berantem sama Jake juga.

Katanya pertengkaran bisa membuat bonding lebih kuat, jadi yaudah. Why not?

Pokoknya, we all try.
Sampai-sampai ayah nanyain warna kesukaan Jake ke oma, buat cat tembok kamarnya.

Seditail itu, sampe gue iri dengki karena nyatanya; ayah sama bunda lebih bisa melakukan banyak hal buat Jake, sementara gue ngajak main futsal aja ditolak.

Nggak adil!

"Diam, Jay!" serunya dari dalam kamar.

Peduli amat, gedor lagi aja pintu kamarnya; Sampe rubuh.
"Makanya keluar lo, main futsal! Bersosialisasi! Males banget sih, heraaan."

"Kenapa ribut-ribut, Jay?" tegur ayah dari lantai bawah, dia nggak tau aja anaknya ini lagi berusaha.

"Ayah diem, Jake nggak keluar-keluar dari semalam. Nggak ada suara apa-apa. Jangan-jangan kepeleset di kamar mandi." kata gue mengada-ngada, biarin aja ayah panik terus dobrak pintunya.

Jake sepertinya sadar sama akibat dari ucapan gue barusan, karena gue bisa dengar suara kunci diputar dari dalam. Nggak lama, keluar juga ni anak tuyul.

Sementara ayah, cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala dari lantai bawah.

"Annoying! Saya ikut, tapi main aja sana, sendiri!"

Di mana-mana main futsal ya pake tim, tapi yaudahlah; seenggaknya Jake mau keluar, toh rencananya cuma mau main ke rumah Tito di sebelah.

Dia jalan di depan gue, masih nggak ramah. Turun tangga juga kayak mau pergi disembelih; lambat dan sangat nggak rela banget.

Sampai di lantai bawah, bunda dengan antusias mau kasi cup cakenya yang keliatan berhasil.

Seperti biasa, Jake menolak dengan gelengan.
"Nanti aja."

Nggak bohong, gue kadang marah. Disaat semua orang berusaha; memastikan dia nyaman, diprioritaskan dan disayangi. Dia sendiri malah abai dan menolak, bahkan terkesan nggak menghargai.

Gue menggeleng, nggak seharusnya mikir begitu. Gue lebih milih buat selalu jadi Jay yang meredam dan memadamkam percik api, biar nggak timbul masalah baru.

Never be Like ThemDonde viven las historias. Descúbrelo ahora