Chapter 13: Our turn.

1.4K 196 11
                                    

Dua tahun lalu, soal pemyakitnya; Jake jujur, dan gue sangat berterima kasih atas itu.

Beberapa bulan yang lalu, oma bilang Jake hampir kehilangan nyawanya di meja operasi dan nggak sadar berhari-hari setelah melewati banyak hari dengan kesakitan.

Dia nggak banyak bicara, namun banyak kecewa sama ayah; sama bunda. Setiap hari, mungkin dia bertanya-tanya alasan kenapa dia ditinggal, kenapa nggak ada orang lain selain oma dan opa di rumah ketika dia pulang sekolah, dan kenapa orangtua yang katanya kerja itu nggak pernah jemput dia.

Sampai pada akhirnya, Jake remaja berhenti penasaran dan mengharapkan kehadiran oranglain dalam hidupnya.

Dia jadi terlalu mandiri, oma bilang.

Tidak ada yang tau kalau Jake kesakitan sampai dia pingsan di suatu pagi.

Berbulan-bulan kemudian, dia melakukan pengobatan dan banyak pemeriksaan; sambil menunggu donor yang tepat. Oma dan opa tentu tidak bisa, jelas karena mereka sudah lanjut usia.

Saat itu, hanya ada Jake dan keputusasaan.

Jangankan gue, ayah sama bunda pun enggak diizinkan untuk tau.

Supaya tidak ada orang yang akan merasa kehilangan, katanya.

Dia membatasi diri dengan lingkungan sekitar, tidak berani bermimpi besar dan tidak mau melakukan apapun. Sampai suatu hari, dia mendapatkan donor, anak seumurannya yang terlibat kecelakaan.

Jake dioperasi, lalu sadar kembali.

Sadar dengan rasa bersalah karena untuk pertamakalinya, dia menganggap telah hidup karena pertolongan oranglain.

Tentu jadi beban untuknya, setiap kali berhadapan dengan orangtua pendonor; Jake selalu tak mampu menatap, walaupun kematian anak mereka tak ada hubungannya dengan Jake.

Anak itu terdaftar sebagai pendonor dan Jake membutuhkannya, itu saja.

Tidak ada yang menyalahkan Jake juga, selain dirinya sendiri.

Dia memang begitu ternyata; selalu suka menyakiti diri sendiri.

"Wanna talk about Cambridge?"

Adalah pertanyaan pertama yang gue suarakan, ketika kami berdua sampai di rumah dan berbaring di atas kasur yang sama.

Malam ini, setelah ayah sama bunda pulang dan cerita semua tentang Jake; gue jadi pengen tidur di kamar yang sama, kayak pertama kalinya dia datang dan ngungsi di kamar gue.

"Kamu beneran mau pindah ke Cambridge?" tanya gue lagi, kali ini menoleh pada Jake; menyebutnya dengan 'kamu' seperti apa dia memanggil gue.

"Oma kasitau?"

Gue mangganguk, dan yakin Jake sadar akan hal itu walaupun dia menatap langit-langit kamar.

"Masih planning, belum pasti." balasnya, lalu merapatkan selimut seperti kepompong.

"Belum pasti, tapi kamu udah beli apartment." cibir gue nggak terima.

"Oma kasitau yang itu juga?"

Gue menggeleng.
"Bunda yang kasitau, dan oma udah cerita semuanya."

Jake tidak menanggapi lagi, dia terlalu irit ngomong setelah keluar dari rumah sakit tadi sore.

"lo emang nggak beneran mau tinggal di sini ternyata." ucap gue lagi.

Agak pedih, tapi tak mengapa.

Mimpi kecil gue, tentang istana pasir; ternyata selamanya Jake tidak akan setuju.

Never be Like ThemWhere stories live. Discover now