Chapter 05: Is there anyone?

1.3K 177 14
                                    

"Anjing lah tujuh puluh. Kenapa nggak tambah lima 'sih, hadeeh."

Bukan karena ada anjing tujuh puluh ekor di kelas, melainkan nilai ulangan harian Abi yang tidak sanggup menggapai ketuntasan minimum.

Tenang ...

Di bawah Abi, masih ada Jake.

Such a dumb and dumber, mereka berdua dipastikan remidi. Sementara gue, bisa slay dengan nilai tujuh puluh lima.

Lumayan lah walau pas-pasan.

Lain Abi, lain juga reaksi Jake. Dia cuma menerima kertas jawabannya lalu disimpan ke dalam laci, setelah itu dia keluar kelas ketika waktu istirahat hampir abis.

Pastinya bukan ke kantin, karena Jake VS makanan masih berlanjut. Jadi, makan bukanlah hobbynya. Bahkan kadang gue liat dia sampai frustasi dan tertulis jelas di jidatnya pertanyaan semacam 'kenapa manusia harus makan?'

Berdasarkan itu semua, gue penasaran.
"ke mana, lo? Jam istirahat udah mau abis."

Walau tidak mendapat jawaban yang jelas, karena Jake cuma menatap malas ke gue yang sibuk bagiin hasil nilai ulangan. Maklum, gue ini pejabat di kelas.

Setelah selesai, barulah gue menyusul langkahnya.
"Mau ke mana, Jake?"

"Kenapa harus tau?"

Ya begitulah, tidak semua pertanyaan punya jawaban. Kadang pertanyaan malah dapat pertanyaan juga.

"Can you just be nice, even for a day?"

Jake diam, gue kira dia bakal marah. Ternyata enggak, membuat gue sadar satu hal setelah cukup lama dia tinggal di rumah dan datang ke sekolah yang sama; Jake, adalah tipe orang yang menahan emosinya dengan baik. Hanya kadang mulutnya nggak pernah bisa dijaga.

Tindakannya kadang nyakitin, tapi secara marah; gue lebih sumbu pendek.

"Daftar ekstra kulikuler." Jawabnya dengan canggung.

Gue berdeham, menyamakan langkah  dengan langkahnya yang pendek. Baru sadar ... Ternyata tingginya cuma setelinga gue.

"futsal? Atau basket?"

Jake menggeleng. Ekspresinya nggak bagus, seolah teramat sangat jengkel mendengar kata 'futsal' berminggu-minggu ini.

"English club sounds good."

Ya, pasti. Datang ekstra cuma absen terus mampus-mampusan pas mau lomba debat. Pilihan yang paling tepat untuk Jake yang ternyata mager-mageran, namun sepertinya nggak keberatan buat meluangkan waktu serta tenaga—kalau kepepet.

"Good choice. Lo bisa bilang sama bang Hesa. Dia ketuanya."

Jake mengangguk dan gue bingung mau di hawa ke mana topik ini supaya terjaga kelestariannya, alias nggak berhenti di sini.

"Jadi, lo nggak usah kasitau wali kelas. Ntar bang Hesa yang masukin ke absensi club."

"Okay, then. Mau balik ke kelas." katanya kayak anak kecil, terus jalan ke arahnya tadi; ninggalin gue seperti biasa, lalu gue pura-pura ke toilet biar nggak kayak ngikutin. Well, mempertahankan percakapan kadang memang sesulit walau tidak setara dengan membangun candi dalam semalam.

Jadi, ya ... Gue lebih milih jalan di lorong koridor yang mulai sepi, dan semenit ke depan gue hampir olahraga jantung pas ada tangan tanpa adab mendarat kencang di bahu gue.

"Lo kira bahu gue ini apaan? Main gebuk aja, Sat!"

Namanya Bayu, tapi biasa dipanggil bangsat.

"Gue liat dari jauh, lo emang pantas digebuk Jay. Maap." katanya sambil nyatuin tangan kayak emot siswa di akhir kalimat kalau chat sama gurunya.

Pada umumnya, emoticon itu digunakan untuk menunjukan rasa hormat, dan tara krama serta sopan santun. Namun jika Bayu yang melakukan, artinya berubah jadi 'memancing keributan, tidak ada rasa bersalah, dan yaudah lupain ajalah.'

"Ada apaan?" tanya gue malas, tidak lupa untuk merapikan kerah seragam yang sedikit ketarik.

"Jadi gini ..." Bayu menjeda kalimatnya, menoleh kanan-kiri seperti memantau suasana terus ngerangkul bahu gue; seperti mau memberitahu misi rahasia.

"Bentar lagi 'kan kelas sepuluh bakalan milih ekskul. Nah, gue mau buat video promosi gitu buat dipost di instagram sekolah. Masalahnya, nggak ada yang bisa take videonya sama editin sebagus lo." Katanya, lalu diakhiri dengan tawa yang gue tau maksudnya.

"Jadi ... Tolong lah, Jay."

Cukup ngebuat gue memutar bola mata yang hanya dua biji ini dengan lelah lahir batin. Ngomong ke sana, ke sini, di tengah-tengahnya ada pulau Jawa; akhirnya memperbudak teman sendiri adalah intinya.

"Ada komisinya, gak?" tanya gue, tentu tidak serius, tapi kalau Bayu memberi rezeki, ya ... baiknya diterima.

"Soal komisi bisa gue obrolin sama bendahara lah, ada uang ada barang, ada sayang."

Ada bogem, sih.

Gue berdecak. Bukan karena soal komisi, tapi karena mulut jablay Bayu yang rasanya mau gue tonjok kalau mulai alay.

"Iya. Nggak janji, tapi gue usahain. Ntar kalau jadi, bakso bu Mimi aja deh."

Bayu senyum secerah lipstick bunda kalau mau arisan, terus nepuk bahu gue dua kali; nggak sekeras tadi, melainkan hanya tepukan lembut.

"Makasih Jay, sahabat sejati gue. Anak IPS yang paling gue sayang, best friend for ever. Gue nggak bakal lupa sama kebaikan lo." Katanya panjang lebar, Seolah-olah gue udah meningkatkan pemasukan negara, memberantas kemiskinan dan mensejahterakan rakyat.

"Gue duluan bro, jam istirahat tinggal dua menit lagi. Gue naik tangga aja udah abis nih" ucapnya sambil menunjuk tangga menuju kelas IPA.

Setelah itu dia melambai dan melenggang pergi, sementara gue cuma bisa ketawa liat kelakuan nyelenehnya.

Bayu, walau selalu hyperbola; tapi sekalipun nggak pernah memanfaatkan temannya secara cuma-cuma. Dia sederhana, selalu mengucap tolong kalau butuh pertolongan, lalu berterima kasih dengan caranya bila mendapat pertolongan.

Gue seratus persen becanda soal komisi pembuatan video promosi club basket, tapi prinsip Bayu beneran serius; ada uang, ada barang. Nggak pernah jadi ada barang, ada temen, karena temenan; gratis dong.

Selain punya Ayah sama bunda, gue bersyukur dalam hidup ini punya Abi yang solidnya selangit, Punya Bayu yang prinsipnya membuat gue juga pengen hidup berprinsip, punya bang Hesa yang selalu mematikan api rokoknya ketika Tito mendekat; supaya asapnya nggak kena adiknya, punya Sean yang gigih; jadinya gue kadang ikut mikirin nilai-nilai gue,  dan punya Juan yang sayang ibu banget, jadinya gue sering melihat sikap; apakah gue udah jadi anak yang baik buat bunda atau belum.

Lucu, ketika waktu istirahat yang sisanya cuma dua menit bisa ngebuat gue merenung tentang kehidupan, sampai pada akhirnya kaki gue menapak di depan kelas.

Dari tempat gue sekarang; di depan kelas, beberapa langkah jaraknya dengan Jake ... Adik gue yang serasa bermil-mil jauhnya, gue diam memperhatikan sebentar.

Dia sendirian, tampak tidak tertarik bergaul meski beberapa orang tersenyum dan mencoba untuk bicara panjang lebar padanya; dia cuma membalas dengan senyum kecil dan sepatah dua patah kata.

Sampai gue mendekat dan bisa mendengar dengan jelas kalau Abi menawarkan belajar bersama untuk remidi, Jake ... Hanya mengucapkan terima kasih, lalu menolaknya dengan alasan kalau dia tidak bisa belajar dengan oranglain.

Dalam hidupnya, entah kehadiran siapa yang dia syukuri.

Is there anyone, Jake?

***










Is there anyone guys?
Hehe ... As you wish, double up. Gatau kapan bisa update lagi, tapi aku bener-bener pengen bisa update teratur *hiks. Oh ya ... Book ini memang aku tulis dengan gaya penulisan yang santai; nggak seperti kebanyakan book aku yang lain. Kalo merasa cringe, pliss jangan dibaca. No need even ask "bisa gak sih cerita lo yang ini ditulis pake bahasa baku aja?" di DM, karena aku ga akan mengubah caraku menulis di book ini. So, sorry.

Yaudah segitu aja deh, see you ♥♥
-Nana

Never be Like ThemWhere stories live. Discover now