Chapter 08: Let them be

1.2K 168 20
                                    

   Subuh dihari juma't, selalu jadi waktu kesukaan gue. Rasanya gue nggak akan keberatan bangun untuk menjalani hari sibuk yang terakhir ini karena besok sabtu; artinya hari kebebasan yang sering orang sebut sebagai hari libur bakalan tiba.

Yash!

Namun hari ini agak berbeda, karena akan jadi hari pertama gue sama Jake doang di rumah. Ayah sama bunda bakal pergi buat perjalanan bisnis mereka yang tertunda karena gue sempat sakit; padahal ditinggal juga nggak masalah sebenarnya.

Gue membuka pintu kamar pelan-pelan, tidak mau menimbulkan suara di pagi buta.

"Aku rasa kita keterlaluan, Ann. Jake itu anak kita, sudah seharusnya kita bertanggungjawab mau sesulit apapun itu."

Adalah suara ayah yang nggak sengaja terdengar, sekaligus menjadi penyebab gue duduk di anak tangga dan memilih mendengar lebih jauh.

"Aku nggak tau mau gimana lagi." jawab bunda, suaranya agak bergetar di akhir kalimat.
"Kadang aku pikir kalau dia nggak nyaman berada di dekat kita. Aku, kamu, bahkan Jay; semua jadi terlalu berhati-hati buat bertindak. Kita semua bakal hancur kalau gini terus, mas."

Hening sebentar, ayah terdengar menghela napas sebelum balas berucap.

"Terus kamu pikir ini jalan yang paling baik? Dengan mindahin dia ke New York?"

Bunda nggak menjawab, jadi ayah kembali bersuara.
"Apa kata mamamu nanti, Ann? Kenapa kamu sampai berpikir ke sana. Tentang situasi kita sekarang, aku janji kita bakal belajar jadi orangtua yang baik, bukannya kamu liat? Jake juga lagi berusaha. Ini bahkan belum setahun!"

Bunda mulai terisak kecil, berusaha meredam suara. Mungkin tidak ingin membuat kebisingan yang membuat gue atau Jake bangun dan mendengar percakapan penting mereka ini.

"Aku kadang terlalu takut bakalan jadi ibu yang buruk, mas. Aku takut kekuranganku sebagai seorang ibu malah berakhir mengabaikan anak-anakku, jadi lebih baik berjauhan; setidaknya aku bisa terus kangen sama mereka" ucap bunda lirih.

"Kamu liat sendiri kelakuanku beberapa hari yang lalu? Jangankan jadi ibu yang baik, aku bahkan sempat lupa kalau Jake sendirian di rumah. Aku takut terlihat membeda-bedakan mereka tanpa aku sadari."

Ayah tidak membalas, dia menenagkan bunda yang sedang menangis.
"Iya, aku ngerti. Tapi bukannya kita selalu takut? Lihat 'kan hasilnya. Jadi, kenapa nggak kita memberanikan diri kali ini? Daripada jadi orangtua yang sempurna, lebih baik kita jadi orangtua yang melaksanakan tanggungjawab kita meskipun pasti ada salah-salahnya. Pelan-pelan, kita perbaiki semuanya ... Aku janji bakalan berusaha lebih dari sebelumnya buat kamu dan anak-anak."

Ayah berdeham lalu bersuara lagi.
"Aku akan ikutin mau kamu pergi buat ketemu mama dan papamu hari ini. Tapi tolong, kita nggak akan bahas kepindahan Jake ke New York; karena lebih baik kita tau kenapa dia tiba-tiba mau tinggal sama kita, padahal aku udah bujuk sejak lama dan dia selalu menolak."

Ah, ternyata bukan perjalanan bisnis. Pantas bisa ditunda.

Such a sick feeling, gue nggak tau kenapa pagi-pagi mata gue malah berkeringat dan guenya malah duduk diam di tangga.

Mikirin ketakutan bunda yang nggak pernah hilang bahkan sejak gue dan Jake belum ada sampai sekarang. Gue nggak tau ketakutan macam apa itu, apakah rasa takut berlaku nggak adil atau cuma rasa takut pada suasana yang nggak lagi sama.

Sepertinya agak berlebihan, Bun. Kedatangan Jake nggak merusak apa-apa, sumpah. Gue senang malahan, walau dia nggak pernah main istana pasir sama gue, walau tanggan kecilnya nggak pernah ngegenggam telunjuk gue, walau di sekolah nggak ada yang tau kalau kami saudara; gue tetap senang. Karena nggak ada lagi kebahagiaan yang melebihi ini, ketika gue merasa separuh gelas kehidupan gue terisi penuh oleh Jake.

Never be Like ThemWhere stories live. Discover now