Epilogue 00

1.4K 196 22
                                    

Hari-hari gue jalan kayak biasanya; sekolah, rumah, repeat.

Jarang main karena Jake anaknya betah di rumah, sementara gue ini kebawa-bawa ... Ga Jake; ga ikut.

Nggak kerasa udah berminggu-minggu gue sering cengar-cengir karena hal kecil, dan nggak marah banget walau ban motor bocor pas mau pergi. Tidur gue nyayak, makan sayur pun sedikit enak.

Pokoknya mood gue tuh bagus terus kenapa 'sih!

Apalagi sekarang, rasanya kayak mimpi; gue sama Jake duduk di pasir pantai berdua, mengisi hari libur dan ngebuat istana pasir yang udah lama gue bayangin.

Sementara ayah sama bunda milih stay di hotel nggak jauh dari pantai.

Gue menebak-nebak aja deh; mereka pasti lagi pacaran dan lain-lain.

"Ayok balik ke hotel!" sentak Jake sambil melempar-lempar pasir ke istana buatannya.

"Kenapa sih buru-buru? bentar lagi mataharinya bakal setengah terbenam; bagus!" balas gue sambil membersihkan pasir-pasir yang nempel di lengan.

Jake berdecak, sambil menyugar rambut basahnya ke belakang. "Panas!"

Gue ketawa aja, terus ngeledekin dikit.
"Panas apa kepanasan?"

Ada-ada aja kelakuan di tukang jealous liat orangtuanya pacaran.

"Ah, ngeselin. Lagian kenapa sih main pasir gini? jelek!" katanya lagi, terus berdiri dan menginjak istana pasirnya sendiri, sukses ngebuat gue makin ngakak kenceng.

"Yaampun lah Jake! Ayah sama bunda bentar lagi nyusul pasti. Apa yang lo pikirin tuh nggak akan kejadian, percaya deh!"

"Ck! Nanti kita punya adek lagi gimana? Nggak mau!"

Akhirnya dia mengernyitkan kening, lalu kembali duduk di pasir untuk menghadap ke gue; kayak bakal berdiskusi serius.

"Ya nggak 'lah!" balas gue, masih ketawa-tawa dikit.
"Lagian, kalau ada adek lagi 'kan nggak apa-apa. Lucu lah ada orang mini di rumah."

Jake yang tadi bad mood malah makin-makin.

"Nggak mau . Ah nggak tau lah!" katanya makin kesal, sementara kedua tanggan dimasukkan ke dalam pasir pantai. Mulutnya nggak cemberut, tapi matanya sedikit berair; menyiratkan rasa frustasi yang tadinya gue pikir cuma main-main.

Melihat itu, gue berhenti ngetawain Jake dan lebih milih buat duduk lebih dekat dengannya.

"liat! Sunsetnya udah sempurna." kata gue sambil menunjuk ke langit sore yang berkilau.

Jake mengikuti arah telunjuk gue dalam diam, pemandangan mata hari terbenam, suara peluit bersautan dengan riuh kegembiraan dari orang-orang yang lagi main poli; gue, udah lama menanti hari ini.

Tanpa sadar, tangan berpasir gue beralih merangkul Jake.
"Walau bakal ada seribu adek lagi di rumah kita, lo tetap adek kembar kesayangan gue 'kok. Ayah sama bunda juga bakalan selalu sayang sama lo."

Jake menunduk dari tatapan lurusnya.
"Thank you. You always validate my feeling."

"Sure, bro." kata gue dengan tulus.

"Childish!" kata gue main-main, Jake yang mendengar itu segera menepis lengan gue dari bahunya; sukses ngebuat gue kembali tergelak lagi.

"Becanda Jake, astaga ngambekan lebih-lebih dari Tito!"

Jake masih membuang muka dan membuat bola-bola pasir.

"Iya deh, di dunia ini elo deh yang paling dewasa. Paling hebat, soalnya kemarin udah ngabisin brokoli semangkok, paling pinter ... Soalnya nilai Bahasa Indonesianya dapat tujuh lima. Paling gue sayang, lebih dikit dari gue sayang Tito, Sean sama Juan. Paling-paling lah pokoknya."

Jake senyum kecil, padahal kalau mau senyum lebar-lebar mah; senyum aja kalik.

"Next lo harus ajarin gue MTK, supaya gue bisa ikut lo ke Cambridge."

Mendengar itu, mata Jake melebar antusias.
"Are you joking?"

Gue menggeleng, "Gue serius, kemanapun lo pergi; gue bakal ikut. Soalnya gue mau jagain lo."

Jake terkekeh. "Ternyata gini ya rasanya punya orang yang bisa diandalkan."

Gue ikut tertawa kecil, lalu menatap lurus ke depan. "I'll try so hard supaya biasa jadi abang yang bisa diandalkan buat lo."

Jake mengangguk, senyumnya masih tak luntur. "I'm so lucky, then. Tapi kamu harus take care sama diri sendiri juga- "

" -bang!"

Haha ...

"Bangsat, lo jangan lucu-lucu gini kalau jadi kebaran gue!"

Gantian Jake yang tertawa, gimana sih; gue seneng dianggap abang, soalnya terdengar seperti orang yang bisa diandalkan.

Cukup lama kami cekikikan sebelum gue ingat sesuatu yang penting.

"Oh iya, lo pernah ngerokok sama bang Hesa?"

Gue tanya waktu itu, tapi keburu mood Jake lagi berantakan.

"Nggak! Aku main aja, tetus mereka ngerokok dan baju-bajuku ikutan bau rokok." jelasnya pelan-pelan.

Gue mengangguk; menerima penjelasannya.
"Bangus, jangan lah kalau bisa. Nggak bagus buat kesehatan."

Jake mengangguk patuh; ngebuat gue merasa jadi abang yang lagi nasehatin adeknya, ngebuat gue merasa keren.

Setelah itu, kita baring di atas pasir; mengabaikan pasir yang nempel dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan menikmati riuh suasana pantai di sore hari.

Sekarang ... adalah liburan terbaik selama hidup gue.

"Kembar, udahan yuk main pasirnya."

Panggil bunda; membuat gue dan Jake pun bangkit sama-sama buat menghampiri mereka di ujung pantai.

.

.

.

.


Never be Like Them.
Diselesaikan oleh: HimawariNa
112322


Never be Like ThemWhere stories live. Discover now