BAB 3. 1020

46 9 92
                                    

Kepergianku diiringi tangisan alam. Sejak tadi malam, air mata langit tak henti-hentinya menetes basahi bumi. Hingga sekarang, jarum jam tanganku mengarah ke angka 12.30, waktu bagi matahari memancarkan cahaya terterangnya, berhasil dihalangi oleh awan hitam tebal yang berperan sebagai dalang kegelapan.

Mobil yang menjemputku ternyata datang tepat waktu, seakan tak peduli dengan alam yang tak kunjung memberi restu. Ayah melepas pelukan hangatnya, digantikan oleh pelukan hangat dari adikku yang akan menyusulku ke Wonderland Academy tahun depan.

Sebagai murid yang menempuh jalur akselarasi di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, ayah merasa bahwa aku terlalu muda untuk melanjutkan pendidikan di Wonderland Academy.

Katanya sekolah ini bukanlah sekolah biasa, lebih tepat disebut sebagai tempat latihan bertahan hidup ketimbang sekolah. Saat aku bertanya apakah Wonderland Academy sejenis Sekolah Militer, ayah terlihat kebingungan dan hanya mengatakan bahwa latihan khusus yang ayah berikan padaku selama ini akan sangat berguna untukku menjalani kehidupan di sana.

"Semoga selalu dalam lindungan-Nya," ucap ayah saat mengantarku ke mobil sambil memegangi payung untuk menghalau hujan agar tak membasahi pakaianku. Saat mobil melaju, aku menoleh ke arah ayah dan adikku, mereka tampak tegar, tidak ada air mata yang menetes, mungkin karena itulah langit yang mewakili kesedihan mereka.

Rumah kayu minimalis dengan desain sederhana, taman bunga dan hutan buatan yang mengelilinginya, danau kecil yang jadi tempatku berenang, kolam ikan peliharaanku, rumah kaca tempat puluhan tanaman herbal, hingga kandang hewan ternak maupun hewan peliharaan yang berjajar rapi di samping kiri rumah.

Kulihat dengan saksama semua tempat penuh kenangan yang harus kutinggalkan selama empat tahun demi melanjutkan pendidikan di Wonderland Academy, sekolah yang sudah membekali ayahku berbagai ilmu hingga meraih kesuksesan di usia muda. Aku ingin mengikuti jejak langkah ayah, karena itulah aku terus meyakinkan ayah bahwa gadis kecilnya sudah beranjak dewasa dan siap hidup mandiri di Wonderland Academy.

Kurang lebih empat jam perjalanan, kini tibalah aku di sebuah bangunan tua yang memiliki halaman belakang super luas bak lapangan pesawat. Di sisi halaman tersebut terdapat sebuah tempat menyerupai panggung besar, ada tanda lingkaran putih dengan huruf H ditengahnya, tempat untuk helikopter mendarat.

Bangunan ini tampak kotor, seperti bangunan tak berpenghuni, dan sepertinya memang begitu karena aku tidak melihat ada siapapun di sini. Sarang laba-laba di mana-mana, tumbuhan merayap hampir memenuhi dinding luar, dan aku tidak bisa menemukan kabel listrik, wajar saja karena bangunan ini terletak di tempat yang jauh dari pemukiman, di tengah hutan.

Dari ruang tamu, aku dibawa ke sebuah ruangan, berbeda dari tampilan luar yang membuat orang enggan tinggal di bangunan ini, ternyata kamar yang dipersiapkan untuk calon murid sangat bersih. Udara segar segera penuhi kamar saat aku membuka jendela, tampak pemandangan hutan rimbun penghasil udara bersih dan cuaca sejuk.

"Istirahatlah dulu, sambil menunggu murid lainnya datang." Pak sopir pergi meninggalkanku sendirian. Perjalanan panjang menuju tempat ini tidak terlalu melelahkan bagiku, tapi aku cukup lapar, mungkin harus menunggu murid lainnya datang, baru bisa makan bersama, kuharap kami diberi makan sebelum berangkat ke sekolah baru kami.

Tok... Tok... Tok...
Mataku terjaga saat kudengar ketukan di pintu kamarku, sebenarnya aku sudah tahu tentang kedatangannya dari suara langkah mendekat, aku hanya ingin memastikan kamar mana yang sedang dia tuju. Aku mengusap mata, mengumpulkan energi untuk bangkit dari kasur empuk yang seakan menarik tubuhku untuk tetap berbaring di atasnya.

"Masuklah, pintunya tidak dikunci." Bangun tidur, perutku bertambah lapar. Rasanya malas sekali bergerak walau hanya sekadar untuk membuka pintu.

"Hai, maaf mengganggumu. Mau ikut mencari makan?" Peraturan kostum tertutup rapat hingga menutupi wajah, membuatku sulit membedakan antara teman laki-laki dan perempuan, tapi dari suaranya jelas sekali bahwa teman bicaraku ini adalah seorang laki-laki.

Seleksi Alam (Prapesan) ✔️Where stories live. Discover now