#Prolog

435 200 280
                                    

Aku memang masih bisa berdiri dan berpura-pura tegar, tapi aku tak bisa untuk terus menahan rindu.

_Lavanya Rettasya_

.

.

.

.

.

Kurapatkan jaketku yang terkena angin. Deru angin menyelimuti tiap-tiap jalan yang ku lewati. Hujan kembali turun malam ini, ada sesuatu yang kurindukan dari hujan. Tahun lalu, hujan turun pada tanggal dan bulan yang sama. Saat aku sedang bersama seseorang yang sangat ingin kupeluk lama-lama. Aku masih hafal baju yang ia gunakan, sepatu yang ia gunakan, parfum yang ia gunakan, bahkan obrolan kami pada malam itu. Tepat setahun yang lalu, malam dimana aku menatap manik matanya yang segelap langit malam dan juga hari dimana kami terakhir bertemu.

Aku menapaki lorong-lorong panjang yang sepi seperti hariku tanpa dia, sunyi dan hampa. Hanya terdengar jejak kaki yang beradu dengan jalanan yang becek beriringan dengan bayangan dalam gulita malam. Dia, sosok yang sangat kurindukan di semesta ini. Dia yang kurindukan diantara orang-orang yang aku rindukan. Membayangkan wajah tampan rupawannya, kelembutan sikapnya yang selalu berhasil meluluhkan keras ku. Dia kekasihku, yang telah membawa hatiku dan kini aku hanya bisa menatapnya dalam kerinduan yang tak berujung. Kadangkala resah datang menghampiri pada rindu yang tak kunjung bertemu. Sedang apa disana kekasihku?

Dalam sunyi hatiku bergejolak. Bertanya pada kekosongan ini, apakah dia juga merindukan ku? Dibawah kesadaran aku memaksa akan sebuah jawaban. Berharap sang pujaan hati juga menyimpan rasa rindu yang dalam pada tulang rusuknya. Ah...sudah lama rasanya, tak jua kudengar sebuah jawaban atas omong kosong yang nyaring berbunyi itu.
Adakalanya aku ingin berhenti berharap pada ketidak pastian ini. Harapan-harapan yang mulai diredupkan oleh sang waktu. Namun aku yang keras kepala kembali bertanya pada kabut rindu, benarkah hanya aku yang merindukannya?

🌧️🌧️🌧️


Aku telah memasuki ruang tamu rumahku yang telah gelap dengan keadaan basah. Namun tiba-tiba saja seseorang menyalakan lampu alhasil ruangan pun menjadi terang. Siapa lagi kalau bukan Radit Wirasetya. Seseorang yang siap mengomeliku ketika aku telat pulang, telat makan, dan bangun kesiangan. Di rumah ini aku hanya tinggal bersama kak Radit yang usianya empat tahun lebih dewasa dari aku. Ibu? Ia sudah tenang dipangkuan tuhan, sedangkan ayah telah bahagia dengan keluarga barunya. Tapi syukurnya, beliau masih mau membiayai biaya hidup kami. Kami tiga bersaudara, dengan aku anak terakhir dan satu-satunya yang perempuan. Kakak sulungku bernama Adriano Wirasetya usianya terpaut empat tahun dengan kak Radit, dia adalah seorang arsitek yang sedang melanjutkan studinya di Bandung. Dan kakak ku yang sudah seperti pengganti sosok ibu bagiku, Radit Wirasetya. Seorang yang sangat pekerja keras, ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di sebuah universitas terbuka dan bekerja demi mencukupi kebutuhan kami sewaktu ayah belum mengirimkan uang bulanan.

"Baru pulang? Dari mana?"

"Dari rumah Darisa," jawabku singkat karena ingin cepat-cepat mengganti pakaianku yang basah kuyup.

"Habis curhat? Lihat jam berapa sekarang, kalo lo cowok nggak masalah tapi lo itu cewek."

Aku hanya tersenyum kecil lalu berjalan menuju kamar ku yang berada di lantai dua. Selain alasan ingin segera mengganti pakaian, aku juga menghindari Radit yang pastinya akan mengomeliku. Bukannya aku ingin bersikap kurang ajar, terus terang saja mood ku sedang tidak baik. Takut nanti bicaraku kelepasan dan menyulut emosi kakak kedua ku ini. Radit selalu saja berlebihan, padahal usiaku saat ini 17 tahun lebih dua bulan.

"Ta! Marchel belum tentu bisa selamanya sama lo, lupain bukan terus sedih kayak gini," ujarnya masih saja mengekori ku.

"Sori gue mau ganti baju lo masih mau ngekorin?" ujarku ketika sampai di depan kamar.

Radit tampak menghembuskan napas untuk meredam kemarahannya lalu berjalan mundur ke belakang dan menundukkan kepalanya. Aku langsung masuk lalu menutup pintu kamar.

"Gue cuma nasehatin lo Ta karena gue nggak mau lo ngelakuin hal yang sama kaya nyokap."

Aku luruh seketika, mungkin bukan hanya aku yang sensitif jika berbicara tentang ibu. Sosok wanita yang paling aku rindukan. walaupun waktu ku bersamanya hanya sebentar sebelum tuhan memanggilnya. Aku paham betul maksud Radit, ia tak mau aku terus-terusan bersedih hanya karena cinta. Bagi Radit, cinta hanya omong kosong yang menghadirkan luka. Mungkin ia berbicara seperti itu karena pernah terluka dalam perjalanan cintanya, dan aku pun begitu.
Tapi Marchel tidak sejahat itu, aku bahagia bersamanya. Meski kini aku hanya bisa merindu dengan selalu berharap agar ia lekas kembali. Tapi bila memang sudah tak ada lagi harapan, biar aku yang mencoba merelakan meski tak sepercaya itu aku dapat menahan perih.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Hola!!!

This is new story from me yeaaay🥳
So I hope u enjoy this story

Please keep support me and don't forget to vote and comment 🤗🤗🤗

Next???

Xrainy, 21-10-21

Hujan Kemarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang