#2 : Monolog

272 159 189
                                    

Aku berbicara denganmu tapi kamu hanya diam, aku menceritakan bagaimana aku menjalani hari tanpamu. Kemudian aku menangis, memeluk rinduku yang berjatuhan.

_Lavanya Rettasya_

.

.

.

Retta menggeliat di atas kasurnya, sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarnya membuatnya menyipitkan matanya. Kepalanya berdenyut nyeri, kala ia mencoba merubah posisinya. Ia meraba-raba keningnya yang terdapat kompres penurun panas. Sepertinya ia demam karena kehujanan semalam padahal ia mengira bahwa hujan tidak akan turun semalam.

Retta kembali memeluk gulingnya dan termenung, merenungi mimpi yang semalam dialaminya. Mata sayu itu, menyorot sendu. Mimpi yang sangat indah harus berakhir ketika ia terbangun. Malam itu selalu terulang dimimpinya, menghantamnya dengan kuat hingga hatinya kembali disambar luka.

"Udah bangun?" Tanya Radit lalu menghampiri Retta.

Lelaki berusia dua puluh satu tahun itu langsung memeriksa suhu tubuh Retta dengan menggunakan termometer. Hanya sebentar, lalu mengambilnya dari mulut Retta. Ia menghembuskan napas pelan ketika mengetahui bahwa suhu tubuh Retta sudah menurun. Semalam saat ia hendak pergi ke kamar mandi ia mendengar Retta yang mengigau. Ia pun menghampiri adiknya itu, dan benar dugaannya bahwa Retta mengalami demam semalam.

"Makan dulu."

"Gue mau mandi, gue nggak bisa makan kalau belum mandi."

"Nggak usah, entar lo pingsan di kamar mandi gue lagi yang repot."

Retta berdecak pelan, Radit tidak pernah lelah untuk mengajaknya berdebat tak peduli dengan kondisinya yang sedang sakit. Padahal ia sungguh tidak bisa makan jika belum melakukan aktivitas yang namanya mandi. Setidaknya untuk menggosok gigi, ia harus melakukannya. Retta menyibakkan selimut yang membalut tubuhnya. Berjalan sempoyongan dengan tangan yang meraba-raba tembok menuju kamar mandi dengan menahan denyutan dikepalanya.

"Mau kemana?"

"Berak, lo mau ikut?" Jawab Retta sinis.

Retta langsung menutup pintu kamar mandi setelah mengatakan hal itu. Sesekali berbohong juga perlu untuk menghindari situasi yang rumit. Yang benar saja ia harus menelan bubur yang bertekstur lembek itu dengan kondisi belum menggosok gigi. Bukannya masuk ke perut dengan baik, yang ada ia akan memuntahkan kembali makanan itu sebelum diproses oleh lambungnya. Catat! Ia tidak menyukai makanan bertekstur lembek seperti bubur, pisang dan makanan lembek sejenisnya. Apalagi di samping mangkuk bubur terdapat beberapa butir obat yang diletakkan dipiring kecil. Selain makanan lembek, ia tidak suka dengan obat karena baunya yang menyengat.

"Lama banget, nyedot wc lo?"

Retta memuntahkan cairan pencuci mulut. Ia ingin memuntahkan semua isi perutnya setelah mendengar ucapan Radit. Ia menatap wajahnya yang sedikit pucat, padahal ia baik-baik saja, Radit saja yang berlebihan. Seharusnya ia masih sanggup untuk pergi ke sekolah namun mimpi panjang itu membuatnya kesiangan.

"Buruan dimakan, nggak usah ngelamun."

"Lo cocok ikut ngerumpi sama ibu-ibu kompleks."

"Apa?"

"Lo cerewetnya sama kayak ibu-ibu."

Radit hanya menggelengkan kepalanya pelan. Adiknya ini sangat keras kepala, padahal ia seperti itu karena perhatian. Ia sudah mewanti-wanti Retta untuk tidak pulang larut malam, parahnya lagi semalam gadis itu kehujanan. Entah kapan Marchel pulih, agar Retta tidak seperti ini lagi. Memang, semenjak Marchel sakit Retta sedikit berubah.

Hujan Kemarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang