#3 : Aku rindu

257 146 178
                                    

Aku rindu pada masa dimana kita tertawa bersama, berjalan bersama dan saling menggenggam. Lantas, apakah rinduku hanya bertepuk sebelah tangan?

_Lavanya Rettasya_

.

.

.


"Retta?"

"Retta?"

Wanita berusia sekitar empat puluh tahun itu menggelengkan kepalanya. Sejak ia menginjakkan kaki di kelas ini, ia mendapati salah satu siswinya yang tampak tak bersemangat. Tatapan matanya kosong, entah sedang sibuk memikirkan apa.

Ryan seorang siswa yang duduk tepat di belakang Retta, menendang kursi di depannya. Bagai diseret secara paksa dari tempat yang mengurung jiwanya, gadis yang namanya disebut pun akhirnya tersadar. Setengah ragu, ia menatap sang
guru yang baru saja memanggilnya.

"Iya Bu?"

Lagi guru itu menggelengkan kepalanya sebelum berujar. "Kamu sakit?"

Gadis itu menggeleng kecil. "Enggak Bu."

"Terus kenapa kamu melamun? Sejak saya masuk tadi kamu tampak tidak memperhatikan saya. Kamu ada masalah?"

"Dia mikirin cicilan sama susu formula buat anaknya, Bu," bukan Retta yang menjawab melainkan Ryan, siswa yang duduk di belakang Retta.

Sontak, sahutan Ryan membuat seluruh penghuni kelas tertawa. Sedangkan di tempat duduknya, Retta menahan amarahnya yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dalam hati ia mengeluarkan sumpah serapah untuk Ryan. Selanjutnya ia berusaha tenang seraya menanggung rasa malunya akibat ucapan Ryan.

"Hush! Sudah, ibu akhiri pelajaran hari ini."

"Loh bu, kan masih ada setengah jam lagi," tanya Arda sang langganan juara kelas.

Rangga, teman sebangku Ryan langsung melayangkan tatapan elangnya pada Arda. Ini adalah kesempatan langka ketika mendapati jam pulang lebih awal. Ia sudah berusaha menahan diri untuk tidak beruforia, namun temannya yang teramat rajin itu membuatnya kesal.

"Iya, maaf ya tapi saya ada urusan dengan Ibu kepala sekolah jadi untuk mengganti setengah jam ini saya beri tugas untuk kalian." Guru itu menjeda kalimatnya lalu membuka buku untuk memberikan tugas kepada anak didiknya. "Nah kalian buka LKS-nya halaman Tujuh puluh tujuh , kalian kerjakan dari A sampai C, tugas A langsung diisi diLKS saja sedangkan tugas B dan C kalian kerjakan dibuku tulis dan jangan lupa ditulis soalnya."

Mereka tampak kecewa namun memilih untuk mengangguk saja. Sedangkan dibangku paling belakang, Ryan menggeram kesal sambil meremas lengan Rangga. Rangga yang merasa kesakitan pun tidak terima, ia membalasnya dengan mencubit paha Ryan dengan keras.

"Ass-!"

"Ryan, Rangga kalian kenapa?"

Ryan dan Rangga saling tatap kemudian menggeleng secara bersamaan. "Enggak Bu."

🎸🎸🎸

Retta berdiri menatap ruangan dengan pintu kaca yang tertutup rapat. Ruang musik. Tempat dimana biasanya ia dan Marchel menghabiskan waktu bersama. Bernyanyi bersama atau hanya sekedar menemani Marcell latihan bersama teman-temannya. Tempat ini juga yang menjadi saksi bahwa ia dan Marchel mengikat janji sebagai sepasang kekasih.

Ia selalu senang saat melihat Marcell bermain musik. Tampak tenang dan penuh cinta, mata indahnya selalu terpejam saat cowok itu memetik senar gitarnya. Ia selalu menikmati melodi yang tercipta, rasanya hanya ia gadis yang paling beruntung karena memiliki Marchel. Marchel dan musik adalah kesatuan yang sempurna. Tidak ada hal seindah itu bagi Retta. Marchel telah menjadi dunianya, apapun yang berhubungan dengan Marchel ia menyukainya.

Hujan Kemarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang