#4 : Dia kembali

252 137 135
                                    

Dia kembali, datang dengan membawa luka untukku.

_Lavanya Rettasya_



Gelap. Retta sengaja tak menyalakan lampu kamarnya. Terpejam dengan musik Ballad yang mengalun syahdu. Pikirannya melayang pada sosok yang menyapanya sore tadi. Merasa jauh, asing dan terabaikan. Hal yang ia pungkiri selama ini adalah perasaannya sendiri. Ia memanjakan rasa itu, menyiksa diri sendiri. Memenjarakannya dalam lara.

Bak cerita rumpang, sebagiannya harus diisi, agar dapat dibaca dan dipahami. Semua ini teka-teki bagi Retta. Mengapa sekarang seasing ini?

Rasa rindu yang tak teredam, gelisah yang ingin bercerita, kini hanya bisa dipendam dalam-dalam. Ia kehilangan pendengar terbaik, tempat cerita yang tak pernah membuatnya kesepian. Sayang, malam ini diary itu penuh tidak ada tempatnya untuk bercurah. Selain tuhan?

Benar orang bilang, seseorang yang jatuh cinta sebenarnya telah kehilangan dirinya sendiri. Merasa hampa saat cintanya pergi. Ini yang Retta rasakan. Setelah Marchel tidak hadir dalam lembaran hidupnya, hampa menyapa tiap detik.

Setiap hari yang ia lalui terasa berat, padahal ia belum memulai. Ketakutan-ketakutan kadang membuatnya ingin kembali terlelap diatas kasurnya. Kesepian membuatnya bermonolog tak jelas, kadang hingga menangis hanya karena pikiran buruknya. Setiap malam terasa panjang baginya. Padahal akan terasa singkat jika terlelap.

Sampai kapan ia harus terpenjara dalam lara?





📖📖📖



Tok tok!

"Retta?"

Kedua bola matanya bergerak, lalu terbuka. Sudah pagi, cepat sekali padahal ia baru bisa terlelap pukul tiga pagi. Retta berdeham, tenggorokannya kering. Suara Radit yang terdengar semakin keras dan menuntut jawaban, membuatnya beringsut duduk.

"Ya..."

"Langsung mandi, kita sarapan bareng," sahut seseorang dibalik pintu.

Retta hanya mengangguk, matanya kembali terpejam. Dingin, rasanya ia ingin langsung berangkat ke sekolah tanpa harus merasakan dinginnya air.

"Ta? Tidur lagi?"

"Enggak."

"Cepetan ya, udah siang entar macet."

Tidak ada waktu lagi untuk kembali memeluk gulingnya. Retta menyibakkan selimutnya, mengikat rambutnya lalu meregangkan tubuhnya sebelum melangkah ke dalam kamar mandi.

Beres mandi dan memakai seragam sekolah lengkap tak lupa menyisir rambutnya, Retta mematut dirinya di depan cermin. Wajah kantuknya kini terlihat lebih segar, dengan lipbalm yang ia poles dibibirnya. Ia meraih tasnya, mengecek semua buku yang telah masuk kemudian menutupnya kembali. Tidak ada yang tertinggal, sekarang ia boleh turun.

"Selamat pagi Kanjeng ratu, Lo mandi apa lari maraton? Cepat banget."

Sapaan yang bagus! Retta memutar bola matanya. Diujung anak tangga Retta menatap Radit dengan sengit. "Dingin banget ini kayak di kutub Utara."

"Mandi pasir kalo takut dingin."

Bukannya marah, Retta malah tertawa. "Gue masih manusia, bukan kucing."

Hujan Kemarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang