#11 : Malam Minggu

31 21 5
                                    

Setidaknya aku pernah memilikinya, meskipun hanya sekejap mata.

Seharian ini Retta benar-benar tidak keluar dari kamarnya. Diatas kasurnya gadis itu tengah menatap langit-langit kamarnya. Ini hari Sabtu, hari dimana seharusnya Retta menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. Kemarin secara tiba-tiba Darisa dan Karen mengajaknya pergi menonton ke bioskop. Namun Retta menolak karena alasan sedang tidak mood dan tidak punya uang. Iya sebenarnya itu hanya alasan Retta karena terus didesak kedua sahabatnya itu, padahal ya... Memang Retta sedang malas bepergian.

Retta membalik tubuhnya, kini posisinya menjadi tengkurap. Mengecek ponselnya yang kini menunjukan pukul tujuh kurang. Retta kembali termenung, bola matanya bergerak seperti sedang memikirkan sesuatu. Sebenarnya Retta sangat lapar, ia ingin membeli makan diluar sekaligus mencari udara segar. Sudah empat hari ini Radit tidak berada di rumah. Kakaknya itu sedang sibuk dengan teman-temannya mengelola barber shop yang dimana hari ini pre-opening. Kabarnya lusa Radit baru bisa pulang.

Jelas Retta tidak keberatan, bahkan jika Radit tidak pulang ke rumah. Tapi mengingat Retta tidak bisa terus-terusan makan makanan instan, membuatnya mengharapkan kepulangan kakaknya.
Ini malam Minggu, Retta menimang-nimang jadi pergi atau tidak. Ia terlalu malas sebab malam Minggu selalu ramai dengan pasangan muda-mudi. Jelas saja Retta akan merana mengingat hubungannya dengan Marchel sedang diujung tanduk. Retta tidak pernah keberatan jika harus pergi kemana-mana sendiri, ia malah suka. Toh sebelum ia menjalin hubungan dengan Machel, Retta selalu kemanapun sendiri kecuali jika Darisa atau Karen ngotot ingin menemaninya. Marchel itu tipikal pacar yang selalu ingin diandalkan oleh pasangannya.

"Argh!"

Retta menggeliat diatas kasurnya, penampakan mango steaky Rice yang tadi berseliweran di toktoknya  membuat perutnya semakin keroncongan. Membayangkan rasa mangga yang manis berpadu dengan beras ketan berlumur saus santan membuat Retta bersemangat.

Retta bangun dan mematut penampilannya didepan cermin. Rasa laparnya sudah tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan gerakan cepat Retta memakai hoodie-nya lalu menyisir rambutnya yang baru saja ia keramas. Tak lupa membubuhkan liptint pada bibirnya agar terlihat lebih segar. Selesai, Retta menyambar ponsel dan dompetnya.

🥭🥭🥭

Dugaannya tidak meleset, Cafe terdekat dari rumahnya ramai dikunjungi oleh pasangan muda-mudi. Retta terpaksa menahan laparnya dengan berkeliling mencari tempat makan yang sepi. Tentu saja cafe ataupun restoran yang ia kunjungi terdapat menu yang ia inginkan. Tepat satu jam waktu yang dihabiskan Retta, kini gadis itu berdiri disebuah restoran sederhana yang tampaknya tidak begitu ramai. Dengan percaya diri Retta memasuki restoran tersebut kemudian duduk mengisi salah satu meja makan yang kosong. Catat! Ini tempat makan ke sembilan yang Retta kunjungi. Jika menu itu tidak ada maka Retta akan pulang.

"Permisi mbak, maaf mengganggu waktunya. Biar saya cek undangannya ya ka-"

"Eh?"

Retta mengedarkan pandangannya ke penjuru restoran, benar saja. Tak jauh darinya tepatnya disebuah panggung mini terdapat pasangan suami istri yang tengah memotong kue yang dikerumuni oleh banyak orang. Semburat bahagia terlihat sekali dari pasangan itu. Pasangan yang mungkin usianya seumuran dengan mendiang mamanya.

"Maaf sebelumnya kak, apa kakak ini salah satu tamu undangan?"

"Bukan mbak, maaf saya permisi," jawab Retta berusaha menutupi rasa malu.

Retta keluar dari restoran tersebut dengan perasaan kecewa bercampur malu. Tahu-tahu begini harusnya Retta mencari makanan lewat aplikasi pesan antar saja daripada membuang banyak waktu. Jujur saja, selera makan Retta lenyap begitu saja setelah keluar dari restoran.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan Kemarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang