11. Jangan Pergi Lagi

1.5K 212 17
                                    

Raynia masih terbengong melihat seseorang yang menegurnya.

"Ray?"

"Eh, Pak Dhana?" Raynia buru-buru mengusap air matanya.

"Kalau tahu kamu mau ke sini juga mending tadi kita bareng aja. Tadi saya mampir ke toko, katanya kamu lagi izin mau melayat dulu. Ternyata ketemu di sini. Jadi, kamu kenal sama ibunya Mas Rakha?"

"Oh, itu, eum, Pak Dhana juga kenal Ibu Lily?" Raynia balik bertanya untuk menghindari pertanyaan Dhana.

"Kenal, beliau dulu langganan di resto saya. Sampai sekarang kami buka toko kue juga almarhumah masih jadi pelanggan setia. Cuma karena udah mulai sakit-sakitan jadi udah jarang ketemu. Dan tadi pagi, Mas Rakha kasih kabar duka ini."

Raynia mengangguk mengerti.

"Ibu Lily orang yang baik, selalu ramah dan penyayang sama semua orang. Beliau juga suka banget sama anak kecil, kalau ketemu anak-anak saya selalu aja gemes sama mereka. Hh ... tapi sayang beliau sudah berpulang padahal belum sempat menimang cucu."

Dhana menghela napas sementara Raynia sibuk menyeka air mata yang tak kunjung reda. Cerita Dhana semakin menambah rasa bersalah pada Raynia dan membuat dadanya semakin sesak.

Suasana begitu hening saat prosesi pemakaman selesai dan seorang ustaz memimpin doa. Raynia justru semakin tergugu membuat Dhana bingung dan penasaran.

Isak tangis Rakha juga semakin terdengar saat jenazah ibunya sudah tertutup tanah yang bertabur bunga. Tangannya masih mengepal dan menggenggam tanah liat. Baik Rakha maupun Raynia, sama hancurnya.

~°~°~°~

Malam harinya suasana rumah duka mulai lengang, para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Menyisakan Pak Andri yang masih berbincang dengan beberapa kerabat yang datang dari luar kota.

Sementara Rakha masih mengurung diri di kamar. Layaknya anak kecil yang kehilangan yang sedang ngambek, Rakha memilih menyendiri di kamar dan menangis. Ia enggan berbasa-basi dengan para pelayat yang justru menambah kesedihannya.

Raynia dan Ibu masih setia membantu Bik Inah di dapur untuk memasak dan membersihkan sisa-sisa makan dan minum para tamu pelayat.

"Mbak Nia, Mas Rakha belum makan apa pun dari pagi. Tolong dibujuk biar mau makan ya, Mbak." Bik Inah menyodorkan satu baki berisi nasi dan lauk serta segelas teh hangat.

Raynia terpaku sejenak lalu melirik ke arah Ibu seolah meminta petunjuk. Ibu mengangguk.

"Nak Rakha pasti lagi sedih sekarang, boro-boro pengin makan. Tapi dia tetep harus makan biar nggak sakit. Kamu bujuk dia ya, Nia." Ibu mengusap lengan lalu menunjuk baki di meja.

Raynia menarik napas dalam untuk meyakinkan diri apakah ia perlu ke atas mendatangi Rakha di kamarnya. Rasanya Raynia begitu enggan. Namun, jika mengingat kebaikan Mama Lily dulu, Raynia merasa perlu membalas budi dengan cara berbuat baik pada anak semata wayang almarhumah mantan ibu mertuanya itu.

Dengan langkah ragu, Raynia menaikin anak tangga menuju lantai dua. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti di setengah perjalanan. Tangga ini lah yang menjadi penyebab awal mula karamnya rumah tangga yang mereka bangun dari sebuah perjanjian.

Raynia menghela napas, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjalanan menuju kamar Rakha. Hingga tepat di depan pintu, Raynia kembali terdiam.

"Cuma nganter makan doang, Nia, habis itu pergi." Raynia mencoba meyakinkan diri sendiri.

Raynia mulai mengetuk pintu kayu di depannya. Satu ketukan, tak ada jawaban. Dua ketukan, masih belum ada balasan.

AKAD KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang