26. MENYESAL

51 15 0
                                    

"Terkadang, orang yang menatap langit agar air matanya tidak jatuh."

26. MENYESAL

Sepasang kaki itu melenggang melintasi koridor. Pandangannya tak lepas dari seorang gadis yang tengah berbincang dengan seorang laki-laki di depan kelas sana. Vania terlebih dulu menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu langsung berlalu menghampiri Raisya dan Ryan disana.

“Raisya,” panggil Vania.

Raisya dan Ryan serentak menoleh ke arah Vania. Sebenarnya Vania merasa tak enak hati karena harus mengganggu aktivitas mereka. “Maaf aku ganggu kalian. Aku mau ngomong sesuatu sama Raisya,” ujarnya.

“Nggak ganggu kok, Kak!” ujar Ryan dengan senyum sumringah. “Gue tunggu di kantin ya, Sya!” Ryan berlalu untuk memberi celah kepada Vania dan Raisya untuk berbicara.

Raisya beralih menatap Vania yang tengah seperti merangkai kata. “Kenapa Kak? Ada yang bisa gue bantu?”

“Kamu ... Tau gak? Tentang Elin—”

“Tau Kak. Dia sahabat Kak Dafa dan gue dari kecil. Tapi hubungan gue sama Elina udah renggang. Hubungan gue sama Kak Dafa juga jadi berantakan gara-gara Elina,”

Penjelasan Raisya mudah dipahami oleh Vania. Pikirannya sudah terkunci beribu pertanyaan yang harus segera terjawab. Dan ia sekarang tahu mengapa Dafa sangat peduli kepada Elina. Entah mengapa rasa sakit yang di rasakan Vania masih saja tersimpan rapat.

“Makasih, Sya. Pantes aja Dafa peduli banget sama Elina. Ternyata sahabat kecilnya,” Vania tersenyum miris.

“Dia ngapain Kak? Biar gue yang bantu,” Raisya tulus mengatakan hal ini. “Kalo boleh diceritain sih ... Elina dari dulu emang suka kak Dafa,” sambungnya sedikit merasa tak enak.

Namun setelahnya Raisya mencoba tersenyum lebar. “Tapi kak Dafa nggak kok Kak! Dia cuma anggap Elina sahabat walaupun mungkin perlakuannya lebih dari sebagai sahabat,”

Vania masih bungkam ingin mendengar lebih banyak lagi tentang Elina. Raisya mulai berjalan dan Vania menyusul. Raisya menceritakan tentang Elina sambil berjalan di area koridor.

“Dan gue yakin sih Kak. Dengan kembalinya dia ke sini. Terus sekolah bareng kak Dafa pasti dia punya maksud tertentu,” ujar Raisya. “Gue juga udah ngira kalo si Elina masih suka sama kak Dafa,”

Vania merasa ada yang mengganjal ketika Raisya mulai menceritakan lebih dalam lagi. Hatinya sudah terasa panas terus-menerus mendengar nama Elina.

“Tapi Kakak tenang aja. Kak Dafa gak bakalan suka sama Elina kok,” Raisya berusaha menenangkan Vania. “Lagian sekarang Kakak yang udah jadi pemenangnya,”

Vania tersenyum dan mengangguk, “Makasih, Sya. Kapan-kapan aku traktir kamu bakso deh!” ujarnya mengundang gelak tawa.

Di tengah hangatnya perbincangan itu, seseorang tiba-tiba mencengkram pergelangan tangan Vania sampai gadis itu terkejut. Vania sedikit merasakan sakit dan ia sudah mengira jika Dafa sangat marah saat ini.

Tatapan Dafa seperti menajam menatap adik perempuannya. “Ngapain lo deketin dia?”

“Apaan sih lo? Lepasin dia!” Tanpa ada rasa takut sedikitpun Raisya berani membentak Dafa.

Dafa tak memperdulikan Raisya lalu mengalihkan pandangan pada Vania. “Ikut aku,” Dafa memaksa Vania agar gadis itu mengikutinya walau Vania kini terseok-seok menyeimbangi langkah besarnya.

Vania memberontak dan menghepas tangan Dafa dengan kasar. “Lepasin aku!” sentaknya.

Dafa berhenti lalu berbalik arah untuk berhadapan dengan Vania. Dafa mencoba menahan dirinya agar tidak emosi. “Kamu kenal sama dia? Dia ngomong apa sama kamu? Jangan terpengaruh sama omongannya. Dia pembohong, dia—”

“Aku bisa menyimpulkan siapa yang bener siapa yang nggak. Kamu kira aku bodoh?”

Dafa membisu mendengar perkataan Vania kali ini terdengar berbeda. Dafa menatapnya dengan lekat. “Aku cuma—”

“Cuma apa? Cuma nyepelein aku? Cuma gak peduliin aku? Cuma mementingkan cewek lain daripada pacarnya sendiri?”

“Van, aku bisa jelas—”

“Kamu nyadar gak sih selama ini aku itu sakit gara-gara kamu?” Vania merasakan tenggorokannya yang mulai tercekat. “Sebenarnya kamu anggap aku ini apa? Kamu tiba-tiba dateng ke hidup aku dan sekarang kamu bersikap seolah-olah aku gak ada apa-apanya di hidup kamu!”

Dafa menatap dalam Vania yang kini terlihat sangat sedih karenanya. Dafa benar-benar tak tega karena membiarkan Vania menjadi seperti ini. Dafa harus menjelaskan semuanya. “Van, aku—”

Di hadapan sana Dafa bisa melihat Elina yang sedang mengacungkan ponselnya. Seolah memberi tanda bahwa jika Dafa berani berbicara macam-macam Elina akan langsung mengadu pada Sintia. Dafa mengumpat di dalam hatinya lalu kembali menatap Vania.

“Apa? Mau jelasin apa lagi? Kamu cuman mau mainin aku doang 'kan?” Vania mendongakkan kepalanya agar air mata yang ia tahan tidak terjun. Vania menahan nafas lalu kembali menatap Dafa yang masih membisu. “Aku ngerti Elin—”

“Elina sahabat aku dari kecil, Van.”

Jawaban Dafa seperti memberikan hantaman kuat pada dada gadis itu. Vania merasakan dadanya terhimpit dan semakin sesak. “Tapi aku juga pengen kamu ada waktu walaupun sedikit dari kamu. Apa itu salah?”

“Elina sahabat aku, Van! Dia lagi sakit dan kalaupun penyakitnya suka kambuh tiba-tiba. Kamu nggak bisa ngerti?!” Dafa mengepalkan tangannya menahan diri ketika Vania mulai menangis karena nada tinggi yang ia lontarkan. Jauh di lubuk hatinya Dafa benar-benar tak berniat untuk membuatnya menangis.

“Aku ngerti Dafa ... Tapi ...”

“Tapi apa? Elina butuh aku, Van. Kamu harusnya bisa lebih ngerti!”

Setelah Elina mendengar penuturan Dafa gadis itu tersenyum. Elina seperti dilanda oleh kemenangan. Dafa bisa melihat Elina yang kini berlalu menjauhi mereka. Dafa perlahan merasa menyesal karena harus berpura-pura seperti ini pada Vania.

Dafa mengusap wajahnya. Bagaimana sekarang ia memberitahu Vania yang sebenarnya? Dafa mendekati Vania namun gadis itu menepisnya dengan kasar.

“Van, dengerin aku ...”

“Kenapa? Kamu mau bikin aku sakit lagi gara-gara omongan kamu?” Vania mengusap kedua matanya. “Kamu dari dulu cuman bisa bikin aku sakit dan kecewa. Aku harusnya sadar kalo cowok kayak kamu gak mungkin bisa berubah gitu aja,”

Dafa mematung mendengar kata-kata Vania. “Boleh aku jujur? Aku nyesel banget udah nerima kamu. Aku nyesel selalu mikir kalo orang angkuh kayak kamu bisa berubah cuman gara-gara aku,” ujarnya menusuk.

“Vania ...”

“Terserah, Daf. Aku capek. Jangan ganggu aku lagi,” Vania berlalu meninggalkan Dafa yang mematung setelah mendengar ucapannya.

Dafa mengepalkan tangannya. Sepertinya bersikap pengecut seperti sekarang adalah hal yang benar-benar salah. Seharusnya Dafa harus lebih bisa mengkomunikasikan kepada Vania dan menjaga Vania tanpa membuatnya terluka. Dafa menghembuskan nafasnya ke udara kembali merasa menyesal.

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUWhere stories live. Discover now