43. TAMPARAN

47 10 0
                                    

“Setelah melihat responmu sudah berbeda, aku lebih banyak memendam cerita.”

43. TAMPARAN

“Lo ...” Rafa terlihat sangat terkejut memandang seseorang yang ada di hadapan Vania.

Wajah Dafa terlihat sebisa mungkin untuk tenang. Dafa menoleh pada Vania, “Ini siapa, Van?”

Dada Rafa seperti ada yang menikam tanpa henti mendengar pernyataan Dafa. “Gue—”

“DAFA!” teriak Nazila dari belakang hingga menghampiri mereka dengan terengah-engah. “Kenapa sih lo tiba-tiba suka ninggalin gue? Kalo gue ilang gimana? Mau tanggung jawab lo?”

Kejadian tadi bagai kaset berputar di kepala Vania. Gadis itu kembali merasakan hantaman kuat menyerang dadanya. Vania memutar arah dan berlari menerobos Rafa. Dengan sekuat tenaga ia berlari cepat. Bukan egois, Vania hanya membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan semua ini.

"Lepasin!" Vania menghempas tangan Rafa kasar yang tiba-tiba mencekal lengan. Vania mengibas-ngibas wajahnya. Entah untuk apa tapi ia refleks melakukannya ketika air matanya akan terjun kembali.

“Lo sama dia—”

Vania mengangkat tangannya untuk mengisyaratkan Rafa berhenti berbicara. “Aku lagi gak mau bahas tentang dia,” ucapnya.

Rafa menghela nafasnya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di antara Vania dan laki-laki tadi. Mungkin mereka bertengkar? Atau mungkin memiliki masalah lain?

“Oke-oke,” Rafa mengangguk. “Gue anter lo pulang,” lanjutnya membuat Vania menoleh dan matanya melebar sempurna.

”Tujuan kamu sebenarnya apa sih? Kamu orang jahat? Oh, atau kamu playboy? Udah berapa banyak cewek yang udah kamu modusin kayak gini?” Wajah Vania menjadi garang.

Rafa menautkan alisnya tak mengerti. “Maksud lo? Gue gini gitu ke semua orang?” tanyanya.

Vania mengangguk. “Iya kan?!”

“Kadang gue aneh sama manusia. Di bantuin salah. Gak di bantuin salah. Gue pengen berbuat baik aja malah di cap playboy,” Rafa mengeluarkan isi hatinya yang mengenaskan.

Raut wajah Vania berubah. Ia kini malah merasa bersalah karena telah menuduh yang tidak-tidak pada Rafa. Vania juga merasa tidak enak karena selalu berpikiran aneh dan buruk tentang Rafa. Padahal niat Rafa baik.

“Gak berguna banget emang ini hidup,”

“Eh kamu jangan bilang gitu ya!” terka Vania.

“Gue hidup pengen jadi orang berguna. Tapi tetep aja gagal terus,” Rafa semakin melirih memperlihatkan wajah sedihnya. Vania mengigit bibir bawahnya sendiri bingung harus bagaimana. Vania malu jika harus meminta maaf padanya.

“Mm ... Maaf,” ucap Vania pelan. “Aku gak bermaksud bikin kamu sedih gitu,” lanjutnya semakin pelan karena kepalang gengsi.

Vania melihat Rafa yang menatapnya. Tatapan mereka bertemu beberapa detik. Sebelum akhirnya Rafa tertawa puas melihat ekspresi yang ditunjukan oleh Vania.

“KOK MALAH KETAWA SIH?!”

“Lo lucu kalo lagi gitu!”

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang