51. TOLONG BERTAHAN

36 11 0
                                    

"Ku tulis dengan jujur kisah ini. Walau aku bisa mengubah isinya, tapi kenyataannya akan tetap sama. Aku dan kamu tak akan pernah menjadi kita."

51. TOLONG BERTAHAN

“Ada sesuatu buat lo,” Rafa mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang yang sedikit dihiasi dengan lumuran darah. “Gue nemu deket Dafa kecelakaan. Itu pasti hadiah dari Dafa buat lo, Van.”


Vania menerima kotak itu. Kedua matanya kembali merasakan panas. Vania berhasil menjatuhkan satu titik air mata pada kotak itu. Vania sudah sangat larut dalam kesedihan. Vania sangat takut terjadi sesuatu pada Dafa. Semua yang terjadi sangat diluar ekspektasinya. Hari ini, hari yang sangat menyedihkan baginya. Tidak ada kebahagiaan seperti apa yang diharapkannya.

***

Jakarta, 15.30

Mungkin ini akan menjadi kalimat terakhir antara kita, aku dan kamu.

Tugasku kini telah usai, selamat melanjutkan perjalananmu. Selamat tinggal untuk kisah kita. Jaga dirimu dan berbahagialah setelah terlepas dari hari burukmu ketika bersamaku.

Aku mencintaimu. Terimakasih untuk waktu yang telah kita lalui bersama. Semoga kita dipertemukan kembali dengan akhir cerita yang bahagia meskipun dengan orang yang berbeda.

Satu hal yang harus ku akui, pena mu terlalu permanen untuk lembaran hidupku.

Namun ...

Aku mencintaimu, pergilah.

***

Vania menggapai tangan Dafa dan menempelkan nya di pipi. Hanya hawa dingin yang ia rasakan. “Kamu gak bosen tidur terus?” Vania menatap sayu tubuh Dafa yang di penuhi alat medis. Wajah tampan nya terlihat pucat, tak ada lagi senyum manis seperti biasa yang gadis itu lihat.


Hanya mata yang terpejam rapat dan bibir pucat. Vania merindukan tawa bahagia Dafa. Walaupun ketika cowok itu bangun, Vania hanya bisa melihat kecerian dan tawa nya dari kejauhan. Satu hal yang harus ia sadari, Dafa bukan lagi miliknya. Mereka selesai. Dafa sudah memiliki kebahagiaan yang baru.


Vania terkekeh hambar kala menyadari kebodohannya. Air mata nya jatuh tanpa ia sadari. “Aku ...” Nafas Vania tercekat. Sulit rasanya walau sekedar berbicara.

“Aku boleh kan peluk kamu untuk ke terakhir kali nya?” Vania memejamkan mata dan mencoba menarik nafas. ”Kalo aku bisa minta sama Tuhan. Aku gak mau kenal sama kamu dari pada aku harus kehilangan kamu. Ini sakit,” Vania mulai menangis kembali.

Vania bangkit dari tempat duduknya karena merasakan hantaman kuat di dadanya. Vania hampir melangkahkan kakinya namun ia merasakan cekalan membuat pandangannya mengalih pada Dafa. Kedua pasang mata laki-laki itu masih terpejam. Namun jemarinya mencekal tangan Vania seolah tak mau gadis itu pergi.


“Van ...”

Vania kembali duduk lalu perlahan kedua kelopak mata Dafa terbuka. “Van ...” Suara itu kembali memanggil Vania.


Vania membiarkan air matanya kembali luruh membasahi pipi. Vania terisak. Saat ini lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Vania hanya bisa menangis untuk mengeluarkan isi hatinya.

Dafa tersenyum tipis sembari menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang daun telinga gadis yang berada di sampingnya. “Jangan nangis, Van.”

Suara Dafa malah membuat Vania semakin ingin menangis. Vania menundukkan kepalanya sembari menggenggam erat tangan Dafa. “Maaf, Van ...”

Tangan Dafa dengan dilingkari selang infus itu mengangkat kepala Vania dan mengusap air mata yang membasahi pipi. Gadis itu menatap Dafa tanpa menghentikan aktifitasnya yang sedang menangis. “Kenapa nangis?”


“A-aku, aku ...” Isak tangis Vania sama sekali tak memberinya kesempatan untuk berbicara.

“Maafin aku, Van.” Dafa mengelus pucuk kepala Vania lembut. Bibirnya yang pucat kembali melukiskan senyuman tipis. “Van ... Jangan—”

“DAFA!”

Perkataan Dafa terhenti. Seorang gadis berlari menghampiri mereka berdua dengan raut wajah yang khawatir. Nafasnya terengah ketika sudah sampai di dekat brankar. “Ya ampun Dafa! Lo kenapa?” Nazila menyenggol dan menggeser tubuh Vania agar gadis itu bangkit dan berpindah posisi. Upaya Nazila berhasil, Vania kini berdiri dan Nazila menggantikan posisi duduk Vania.

Dafa mengumpat di dalam hati. Dafa menarik tangannya sendiri kala Nazila hendak menggapainya. “Lo kenapa?”


Kehadiran Nazila seratus persen membuat Dafa pusing. Suaranya yang melengking menyeruak ke dalam indera pendengaran membuat kepalanya terasa berputar. Dafa mendesis. “Pergi,”


“Gue khawatir sama lo. Udah dua hari lo gak ada kabar dan ternyata lo disini. Gue takut lo kenapa-napa, Daf.” ujar Nazila lalu ia mendengar gadis di belakang tubuhnya terisak kecil.

Nazila menoleh, “Oh, jangan-jangan ... Gue tau!” Nazila tersenyum simpul. Gadis itu bangkit dan mendekati Vania yang melangkah mundur. “Lo yang buat Dafa jadi gini kan?!” teriak Nazila membuat kaki Vania bergetar seketika.


“NAZILA!” peringat Dafa membuat Nazila menoleh ke arahnya.

“APA? EMANG BENER KAN?!” Nazila membantah.

“INI BUKAN SALAH DIA!”

“GUE TAU LO BOHONG CUMA BUAT MENUTUPI KESALAHAN DIA!” Nazila menunjuk wajah Vania.

Kedua telinga Dafa berdengung. Kepalanya semakin terasa sakit dan anggota tubuhnya bereaksi. Dafa tidak bisa menggerakkan badannya dan nafasnya tercekat. Dafa memegangi dadanya yang terasa sesak dan kesulitan untuk mencari ruang udara.

Vania menyadari itu dan Vania langsung mendorong tubuh Nazila dari hadapannya. Vania menghampiri Dafa yang kesulitan bernafas. “Van ...” Dafa menggapai tangan Vania.

Gadis itu menggenggam tangan Dafa dan kembali menangis. “Daf, tolong ... Bertahan untuk aku,”


TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang