42. HURT

38 9 0
                                    

"Rasanya tidak adil sekali. Ketika segala tentangmu masih bermukim di kepala, sedangkan segala tentangku sudah kau lupakan begitu saja. Aku disini sering kali tersiksa rindu, sedangkan kau disana sudah bahagia dengan pengganti diriku."

42. HURT

Vania berjalan dengan tangan kanan yang memegang minuman. Sesekali ia minum karena lelah berjalan kesana-kemari di sekitaran Mall. Vania mencoba untuk merilekskan pikirannya sejenak. Gadis itu juga mencoba untuk membeli barang yang ia mau sebelumnya, namun entah mengapa rasanya kali ini tidak lagi menarik baginya.

Merasa bosan, Vania memasangkan earphone pada kedua telinganya. Vania memutar lagu yang mewakili perasaannya. Langkah kakinya masih terus berjalan. Sebenarnya Vania tidak memiliki tujuan akan kemana lagi. Tempat ini memang sangat ramai, tetapi Vania tetap merasakan kesepian.

Langkah Vania terhenti. Badannya terasa kaku sekali saat ini. Vania seperti tersambar petir ketika melihat Dafa bersama Nazila di sebuah kursi panjang di depan salah satu toko di Mall. Kedua tangan mereka saling bertautan yang membuat relung hatinya terluka. Bahu kiri laki-laki itu terlihat siap sedia untuk kepala Nazila bersandar padanya dengan nyaman.

Apakah Dafa sudah melupakannya?

Secepat ini?

Vania meremas ujung bajunya menahan tangis. Kedua matanya memanas dan terasa perih melihatnya. Hatinya terasa tercabik-cabik. Vania tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Apakah Dafa secepat ini melupakannya?

Pandangan Vania masih terpaku pada kedua insan dengan air matanya yang mulai mengalir. Dadanya Vania terasa semakin sesak. Nazila terlihat sedang bercerita dan Dafa dengan tenang mendengarkannya.

Beberapa saat kemudian Vania sadar kini Dafa mengalihkan pandangan padanya. Pandangan mereka berdua bertemu. Dafa terlihat sangat terkejut dengan keberadaan Vania.

***

“Tapi ... Sekarang gue jadi berterima kasih sama penyakit gue. Karena dia, gue bisa lihat lo khawatir dan bantu gue,” Nazila tersenyum kecil.

“Gue cuman ngelakuin tugas gue sebagai manusia. Bukan khawatir atau mau bantu lo,” Dengan perlahan Dafa menyingkirkan kepala Nazila dari bahunya. Dafa mulai menjaga jarak dari tempat duduk Nazila.

Nazila megerucutkan bibirnya menatap Dafa. Sedangkan laki-laki itu mengarahkan pandangan ke arah lain seolah tidak peduli. “Kok lo gitu sih sama gue?”

“Gitu gimana?”

“Lo itu calon masa depan gue. Lo harus bisa jaga gue baik-baik!” Nazila semakin mendekatkan diri dan memeluk lengan Dafa. Nazila kembali menyandarkan kepalanya tanpa beban.

Perlakuannya membuat Dafa melebarkan matanya terkejut. Dafa semakin yakin bahwa Nazila memang tidak waras. “Lo gila ya?” Dafa mencoba melepaskan tangan Nazila yang melingkar di lengannya.

Nazila semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Dafa. “Gue yakin suatu saat lo bakalan suka sama gue ...”

Ucapan Nazila membuat Dafa diam. Gadis itu memejamkan matanya dan tersenyum seolah sedang membayangkan sesuatu. “Suatu hari nanti, gue pasti bakal ketemu sama orang yang tepat. Yang nggak akan ninggalin gue dan gak rela gue tergores luka sedikitpun,”

Dafa kembali dibuat bungkam. Penurutan yang keluar dari Nazila persis sekali dengan ucapan Vania dulu. Saat itu Dafa tidak sengaja menguping apa yang Vania ucapkan di perpustakaan. Mengapa ini bisa? Apakah ini hanya kebetulan?

“Dan gue yakin ... Orang itu adalah lo,”

“Kenapa lo berpikiran gue adalah orang itu?”

“Karena ...” Nazila menggantungkan ucapannya. Ia menggapai tangan Dafa lalu Nazila menautkan jari-jari mereka hingga menaut layaknya orang yang tengah bergenggaman.

“Karena gue yakin lo adalah orang yang selalu gue minta dari Tuhan,”

“Tapi ...”

“Gue yakin nggak selamanya jendela hati lo tertutup rapat buat gue. Ada saatnya hati lo terbuka luas untuk gue masuk ke dalam hidup lo,”

“Gue ...”

Nazila tak memberi celah untuk Dafa berbicara. “Dan gue yakin nggak selamanya hati lo hanya buat dia. Iya dia, masalalu lo. Lo nggak bisa selamanya terjebak di dalam masalalu. Lo harus bisa belajar menerima semuanya,”

Dafa menghela nafasnya membiarkan Nazila bersandar di bahunya sambil memejamkan matanya. Dafa mengedarkan pandangannya lalu berhenti pada satu titik yang membuat Dafa terkejut. Tanpa sengaja Dafa melihat Vania yang kini menatap ke arahnya dengan kaku. Dafa melihat kedua mata gadis itu terus mengeluarkan air mata.

Apa yang Vania lihat pasti sangat menyakiti hatinya. Vania akan berpikir bahwa Dafa sudah melupakannya dan sudah membuka hati untuk Nazila. Padahal kenyataannya Dafa sama sekali tak pernah melupakannya..

“Vania ...” Dafa melepaskan tautan genggaman itu dan bangkit.

Nazila membulatkan matanya dan terkejut, “Lo mau kem—”

“Vania!” Dafa berlari mengejar langkah Vania. Gadis itu tiba-tiba saja berbalik badan dan pergi sejauh mungkin darinya. Vania berlari dengan terburu-buru hingga menabrak beberapa orang.

Beberapa langkah kemudian Vania kembali menabrak seseorang. Orang itu terlihat menghalanginya untuk terus berlari. Tubuhnya yang tegap berhasil membuat gadis itu berhenti melangkahkan kaki. “Lo kenapa?” Rafa memegang kedua bahu Vania.

Vania tidak menjawab dan menghempas kedua tangan Rafa dari bahunya. “Gak usah kepo!” sentaknya.

Rafa terkekeh, “Lainkali kalo main lari-larian sama temen di rumah aja ya. Jangan di tempat gede segala. Kasian banyak orang yang lo tabrak,” ujarnya.

“Aku gak main lari-lari,”

“Terus? lo sakit? Sakit apa? Sakit jiwa?”

Pertanyaannya membuat tatapan Vania tajam ke arahnya. Rafa hanya mengangkat satu alisnya. Vania kembali dibuat bingung. Mengapa ia bertemu lagi dengan laki-laki yang satu ini?

“VANIA!” teriak seseorang di belakang sana membuat Vania dan Rafa menoleh pada seseorang yang kini sedang berlari ke arah mereka. Vania terkejut dan mencoba ingin melarikan diri.

“Itu orang manggil lo. Kok mau kabur? Lo nyolong duit ya?”

“Minggir!”

Dafa berhenti dengan nafas tak beraturan. Vania terpaksa berbalik badan karena Rafa terus menghalanginya. Kini Vania dan Dafa saling berhadapan satu sama lain.

Rafa memperhatikan seseorang di hadapan Vania dengan teliti. Layaknya seseorang yang tersambar petir, laki-laki itu tampak terpaku dan merasakan jantungnya berdetak kencang dari biasanya.

“Lo?”

TO BE CONTINUE

GARIS WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang