Prolog

1.1K 97 13
                                    






















"Aku menyerah"

Napas gadis itu tercekat, bersamaan dengan kalimat yang baru saja lolos dari mulutnya itu. Sedangkan seorang gadis di sebelahnya hanya bisa menatap sendu sahabatnya itu seolah sama-sama merasakan sakit hati yang sahabatnya itu alami.

"Ternyata sakit banget ya Sa, perjuangin seseorang yang bahkan gak pernah menoleh sedetikpun ke arah aku"

Gadis itu meringis sembari meremas buku tangannya kuat-kuat. Sedangkan sahabatnya itu hanya bisa mencoba menenangkannya dengan terus menerus mengusap punggung gadis itu.

Kini sepasang sahabat itu tengah berada di sebuah taman dekat sekolah mereka. Terhitung baru lima belas menit lalu sekolah dibubarkan. Bahkan keduanya pun masih mengenakan seragam sekolah.

Gadis bernama Giana itu terus menunduk menatap sepatu pantofel hitamnya yang kotor akibat tanah yang dipijaknya masih basah.

"Bukankah sia-sia Sa?" ucapnya menoleh ke arah sahabatnya

"Selama ini aku berusaha keras ngejar dia, dari aku belajar mati-matian, berharap mungkin dengan itu dia inget aku"

Giana menarik napasnya sejenak

"Dan sticky notes yang setiap hari aku taruh di lokernya, berharap dia penasaran dan akhirnya tahu siapa aku. Tapi itu cuma jadi khayalan aku Sa. Dia sama sekali nggak peduli itu. Dan mungkin selama ini dia nggak pernah baca itu"

Dia tersenyum, namun hanya kerapuhan yang terlihat di senyumnya.

"Dan saat aku tahu dia dekat dengan seseorang, bohong kalau aku nggak sakit hati. Bahkan seharian aku cuma nangis di kamar. Dan kayaknya aku emang harus berhenti sekarang. Iya kan Sa?"

"Apapun keputusan kamu aku dukung Gi" jelas Risa, sahabatnya itu

"Awalnya aku pikir, dengan melihatnya dari jauh tanpa berharap apa pun itu sudah cukup. Tapi kenyataannya itu lebih sakit Sa. Ketika aku sadar bahwa aku menatap seseorang  yang tengah  menatap orang lain, bahkan merindukan seseorang yang merindukan orang lain. Bukankah aku bodoh, Sa?"

Kini air mata gadis itu tak terbendung lagi, isakan demi isakan kini mulai terdengar.

"Terus apa yang  akan kamu lakukan sekarang?" tanya Risa sembari menangkup wajah Giana

Giana tersenyum menatap sahabatnya itu.

"Kamu tau kan Sa, kalo ibu aku dapet surat pindah dinas? Kayaknya aku juga ikut ke sana Sa" jelas Giana

"Harus ya Gi? Padahal cuma tinggal setahun lagi" ucap sahabatnya itu

"Aku rasa ini emang udah takdirnya. Aku pengin menata diri lagi. Selama ini aku cuma fokus sama dia, sampai aku lupa diri aku sendiri. Apa yang sebenarnya aku mau, rencana masa depan aku. Aku harus fokus mikirin itu Sa. Kalau aku tetap di sini, takutnya aku nggak mampu" jelas Giana, membuat gadis di sebelahnya mengangguk paham.

"Oke, aku setuju. Tapi inget selalu komunikasi sama aku ya"

Giana mengangguk, "Pasti Sa"

"Tapi aku harap kamu jangan pernah bahas tentang dia lagi. Apapun itu. Boleh kan Sa?"

"Iya, tenang aja Gi" ucap sahabatnya itu kemudian memeluknya







Kini Giana tengah berdiri menatap sebuah loker warna putih yang sudah hampir dua tahun ini dia datangi. Kemudian dia mengambil sebuah amplop persegi panjang berwarna putih yang berisi surat yang sudah dia siapkan. Tak lupa dia menggambar sebuah bulan di pojok bawah amplop itu. Bisa dibilang itu kebiasaannya saat mengirim sticky notes untuk pemilik loker tersebut. Dia tersenyum saat surat itu berhasil masuk. Setelah itu dia dengan segera melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu, agar tidak ada yang melihatnya.

Unrequited loveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن