4. Memikirkan Keputusan

162 10 0
                                    

Siapa sangka ucapan Mas Ilham yang menyarankan Naela untuk mencoba maju di pemilihan berhasil memporak-porandakan isi pikiran gadis itu. Sebab, sejak Naela pergi dari kedai meninggalkan Mas Ilham yang masih ingin berlama-lama disana, sedikit pun benaknya tidak membiarkan ia menikmati perjalanan menuju kampus. Berulang kali gadis itu mengacuhkan Hisyam saat berusaha mengajaknya bercengkrama diatas motor untuk memecah keheningan diantara mereka. Hisyam juga bersusah payah menggunakan sikunya untuk menyenggol Naela agar gadis itu merespon. Namun yang pemuda itu dapatkan justru toyoran di helm favorit warna ungu muda yang ia beli sekitar awal kuliah dulu.

"Opo bedone mbe nggonceng patung roro mendut nek ngene?"

"Maringene nek aku ngajak ngomong maneh pasti helmku dadi korban."

"Jarno wes! Penting gak nguntal helmku."

Begitulah isi hati Hisyam ketika lagi-lagi ia merasakan kepalanya spontan maju beberapa senti sebab ditoyor dari belakang. Pemuda berkulit tanned itu hanya bisa pasrah. Demi helm tercinta yang ia dapatkan dari hasil kerja sampingan menjadi kurir paket, Hisyam akan membungkam mulutnya sendiri untuk tidak membuka obrolan dengan nenek lampir yang kini duduk termenung sambil bersedekap di belakangnya.

Dari kejauhan, samar-samar Hisyam melihat lampu lalu lintas berwarna hijau. Hal itu membuatnya menarik gas motor sebab pemuda itu berniat ingin segera melewati perempatan terakhir agar mereka bisa sampai kampus dengan cepat.

Namun rencana tetaplah rencana. Yang akan menemui hal-hal tak terduga dalam proses pelaksanaannya. Begitu Hisyam mulai fokus menajamkan pandangan ke depan, tiba-tiba seekor tikus got dengan santainya menyebrang dari kiri jalan. Otomatis Hisyam ngerem mendadak hingga membuat gadis dibelakangnya terdorong ke depan menyebabkan tubuh mereka tak lagi berjarak. Kedua tangan Naela yang sejak tadi ia biarkan terlipat di depan dada, spontan terlepas dan beralih melingkar di pinggang Hisyam.

"JANGKRIK!!"

"Kamu ngerem mendadak karena ada jangkrik lewat ta?" Naela malah merespon umpatan Hisyam dengan pertanyaan bodoh. Gadis itu juga belum berani membuka mata. Ia hanya takut kalau-kalau mereka berdua ternyata sudah berada di alam lain.

Tidak ada jawaban dari Hisyam. Pemuda itu berkali-kali berdecak sebab lampu lalu lintas sekarang telah beralih ke warna merah. Hisyam memelankan laju motornya sembari mengatur napas agar ia tidak misuh-misuh sendiri karena insiden tikus tidak beradab yang menyebrang tanpa lihat kanan-kiri tadi.

Saat Hisyam menghentikan motor sejajar dengan lampu lalu lintas, ia baru sadar kalau ada yang berbeda dengan tubuhnya. Hisyam merasa beban di bagian punggung bertambah daripada tadi--sebelum insiden rem dadakan terjadi. Buru-buru pemuda itu memeriksa. Detik berikutnya, bibir Hisyam terulum sempurna ketika mendapati sepasang tangan melingkar erat di pinggangnya.

"Kok nggak bilang kalau pengen meluk?" celetuknya masih menahan tawa. "Nanggung banget kalau dari sini. Bentar lagi sampai kampus, Nae."

Naela memang memejamkan mata. Namun pendengarannya masih berfungsi dengan baik untuk menerima ucapan makhluk tengil yang berhasil membuatnya jantungan beberapa menit lalu. Gadis itu perlahan membuka mata seraya mengerutkan kening. Alih-alih awan putih seperti di sinetron-sinetron saat tokohnya berpindah alam, yang Naela dapati justru perempatan dengan beberapa motor di tiap bagiannya.

Gadis itu terdiam sejenak. Dalam hati-Naela tidak berhenti menggaungkan rasa syukur sebab ia masih diberi kesempatan hidup bahkan tidak lecet sedikit pun. "Fiuh, alhamdulillah," gumamnya bernapas lega.

Naela menarik tangannya dengan tenang tepat saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Dia enggan merespon godaan Hisyam dan memilih untuk membisu. Gadis itu merasa energinya tiba-tiba berkurang drastis. Beruntung semilir angin sore membuatnya merasa damai walau benaknya tetap tak sejalan.

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang