9. Diantara Faradina dan Abibayu

105 7 0
                                    

Adakalanya tutup telinga jadi proteksi diri, dari suara-suara yang tak layak menginvasi benak yang susah payah diwaraskan setengah mati. Bukan bermaksud apatis. Melainkan bentuk pertahanan diri agar siapapun tak seenaknya memporak-porandakan pikiran damai bermodalkan omongan-omongan tak tahu diri.

Seiring berkurangnya kuah bakso di mangkuk bening itu, obrolan keduanya kian mendalam. Mereka berusaha menyelami pikiran masing-masing. Menilik tiap bait kehidupan yang rasanya tak pernah terlewati tanpa adanya sebuah rasa nyeri di ulu hati.

Netra si lelaki bergulir ke arah piscok yang berjejer rapi. Parutan keju menumpuk diatasnya. Menyebabkan ludahnya terteguk tanpa aba-aba. Dengan begitu saja sebelah tangannya terulur hendak mengambil satu diantara yang lain. Tidak pernah ia bayangkan--jika menikmati selonjor piscok bersama perempuan yang menghangatkan hati di sore temaram seperti ini, rasanya benar-benar menyejukkan sanubari.

Kendati demikian, dalam diam si lelaki bertarung melawan debaran lantang yang konsisten membuatnya kesusahan bersikap tenang. Rasa gelisah itu ia alihkan pada jari-jari kaki yang bergerak sekenanya. Kemudian kembali memaku perhatian pada sang gadis pujaan.

Sementara si perempuan, hangatnya kuah bakso seolah berpengaruh terhadap temperatur batinnya. Ia merasa mood nya perlahan membaik. Eksistensi seorang teman bicara juga mendukung kehangatan yang ia rasakan. Naela pikir mungkin sudah saatnya ia mengutarakan seluruh lara yang mengisi penuh dadanya.

"Syam." Yang dipanggil tak menjawab. Sebab sejak tadi Hisyam memang tak mengalihkan pandangan dari Naela. "Aku sakit hati banget sama Faradina."

Kontan raut wajah Hisyam berubah. Kedua alisnya terangkat namun pemuda itu masih bungkam.

"Nggak tahu ini perasaanku aja apa gimana, tapi aku ngerasa jadi bahan permainan disini."

Gadis itu menjeda kalimatnya. Menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Tak bisa ia pungkiri bahwa rasa lega menghampiri relung hati. Perlahan menumpas rasa gundah yang sejak tadi ia pendam sendiri.

"Aku udah kerja keras banget untuk pelantikan ini. Jam tidurku berkurang, aku juga izin dari les pri-"

"Iya tahu," sahut Hisyam cepat, hanya untuk menerima lirikan tajam dari si gadis. "Kan semingguan ini aku yang nganter kamu kemana-mana. Jadi tanpa kamu jelasin detail sekalipun, aku ya ngerti."

"Tapi kan biar lebih dramatis aja, Syam!"

"Di kondisi kayak gini masih perlu yang namanya dramatis?"

Naela menggeleng lesu. Bibirnya mengerucut kemudian meraih ponsel yang ia letakkan diatas meja. Detik dimana Naela memaku tatap pada layar ponselnya, Hisyam spontan memejamkan mata. Dia salah bicara. Karena terlalu fokus menetralkan debaran jantung yang tak terkendali, pemuda itu lupa bahwa perempuan di sampingnya sedang sensitif.

Lebih-lebih ketika menyaksikan Naela menggulir layar ponselnya dengan gerakan kasar, Hisyam praktis menahan napas sebab ia betul-betul yakin jika sekarang gadis itu tengah pundung padanya.

Melihat kursi di samping Naela kosong, pemuda itu beralih kesana. Mengikis jarak hingga berpeluang membuat siapapun yang melihat akan salah paham. Nahasnya, keberadaan Hisyam seolah tak dianggap. Gadis itu sama sekali tak peduli saat si lelaki grusak-grusuk di tempatnya.

Karena kesal, Hisyam mengambil ponsel yang ia simpan di tas kecilnya. Bukan dijadikan bahan pelampiasan seperti yang Naela lakukan, Hisyam semata-mata ingin mengabadikan momen saat ini.

Tanpa permisi pemuda itu mulai menyalakan kamera. Mencari sudut yang pas agar dirinya dan Naela berada dalam satu frame yang mengesankan. Meski si gadis tetap menunduk, Hisyam percaya diri nyengir ke arah kamera depan ponsel miliknya.

CATATAN PRESMAWhere stories live. Discover now