15. Dialog Koalisi

149 8 0
                                    

Matahari mulai merendah saat seorang pemuda menghampiri motornya di parkiran. Naeka baru saja selesai bertemu dengan para senior organisasi luar kampus. Dan sebentar lagi ia akan berpindah tempat untuk berkumpul dengan teman-teman mahasiswa demi membahas rancangan kegiatan penting koalisi.

Nyaris sepanjang hari pemuda itu disibukkan dengan urusan seperti ini. Beralih dari satu tempat ke tempat yang lain. Membicarakan banyak hal terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan organisasi yang ia pimpin.

Kalau kata adiknya--Naeka itu mirip pegawai pencari nasabah. Dia tidak akan mau pulang kerumah kecuali setelah berjumpa dengan beberapa orang yang berguna untuknya. Bahkan Mama beranggapan demikian. Sejak SMA--anak laki-lakinya itu lebih banyak menghabiskan waktu di luar.

Namun, karena mereka sekarang tak berada di kota yang sama, maka nenek lah yang menjadi saksi bagaimana penilaian dua manusia itu benar adanya. Sesekali nenek yang biasa dipanggil 'uti' oleh Naeka itu akan mengomel sebab dalam sehari cucunya hanya akan pulang untuk berganti pakaian.

Tak butuh waktu lama bagi Naeka untuk sampai ke tujuan berikutnya. Pemuda itu bergegas masuk ke sebuah kedai kopi yang populer dikalangan anak muda. Saat dirinya melewati pintu masuk, nyaris seluruh kursi terisi oleh insan-insan berkelompok di tiap meja.

Naeka mulai mengedarkan pandangan ke tiap bagian disana. Sejenak, pemuda itu melihat jam tangan yang ia kenakan. Dia bahkan tidak telat sama sekali. Mungkin karena itu Naeka tidak menemukan keberadaan rekan-rekannya sebab bisa saja justru mereka yang belum datang.

Cukup lama Naeka berdiri, sebelah pundaknya ditepuk seseorang. Pemuda itu praktis menoleh. Senyumnya merekah kala melihat seorang lelaki yang seumuran dengannya sedang menyapanya antusias.

"Weeehhh .... Pres Yaksa, apa kabar?" Lelaki itu mengulurkan sebelah tangan.

Buru-buru Naeka menjabat tangan itu. "Baik," jawabnya. "Pres Gilang apa kabar? Rakor aman, kan?"

"Aman." Lelaki itu mengangguk-angguk. "Tapi ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan."

Keduanya lalu berjalan ke salah satu sudut kedai kopi disana. Kemudian langsung duduk di kursi yang ternyata telah di reservasi oleh Gilang sebelumnya. Sembari menunggu yang lain, mereka memilih berbincang-bincang santai mengenai hasil rapat koordinasi nasional yang Gilang hadiri lima hari lamanya.

Sama seperti Naeka, Gilang adalah seorang Presiden Mahasiswa. Dia menawarkan diri untuk dijadikan delegasi dari aliansi BEM PTS Surabaya sebab Naeka-koordinator sementara--tidak bisa pergi karena harus mengurusi banyak hal yang berkaitan dengan persiapan kongres.

"Gimana Bandung?" tanya Naeka. Dari sekian banyak pertanyaan yang tertata dalam benaknya, pemuda itu sengaja memilih yang paling ringan.

"Adem." Wajah Gilang tiba-tiba berseri. "Ternyata emang bener ya kalau cewek Bandung itu manis-manis."

Mendengar itu, Naeka terkekeh pelan. Mendadak ia merindukan kampung halamannya. Kalau Mama tahu Naeka seharusnya bisa pulang sebentar melalui pertemuan itu, alasan-alasan yang ia tuturkan tak akan bisa menghalanginya dari omelan jangka panjang mengingat sudah sekitar delapan bulan dirinya tak pulang kampung.

"Selama rapat koordinasi ... apa ada masalah?"

Baru akan membuka mulut, kedatangan empat rekan mahasiswa mengalihkan perhatian mereka. Gilang terpaksa  mengurungkan niatnya untuk menceritakan segala hal yang ia dapatkan di Bandung. Ia pikir--sebaiknya menunggu semua orang hadir agar tak ada yang tertinggal informasi. Selain itu, dia juga malas kalau-kalau harus menjelaskan ulang sesuatu yang sudah ia terangkan.

Langit telah menggelap ketika hampir seluruh insan yang dinanti akhirnya datang memenuhi undangan tak resmi itu. Naeka melirik cangkir kopi dihadapannya demi membuktikan bahwa isi didalamnya berkurang banyak seiring dirinya sabar menunggu kehadiran teman-temannya tadi.

CATATAN PRESMAWhere stories live. Discover now