19. Persiapan Kongres

166 6 0
                                    

Note : chapter ini panjang. Kucek mata dulu sebelum membaca🙏🏻

Seakan menyapa, hembusan angin menerpa wajah tampan seorang pemuda yang tengah berdiri memandang sebuah gedung bertingkat. Rambutnya tersibak, kian menampilkan pesona yang membuat banyak perempuan praktis menatapnya penuh kekaguman. Netranya menyipit dengan alis yang bertaut kala debu-debu yang terbawa angin memaksa masuk melewati jendela matanya.

Cuaca yang tak menentu belakangan ini, cukup menguras kesabaran Naeka Adhyaksa Pangalila. Ia yang menghabiskan hari-harinya di luar rumah, seringkali terkena dampak pergantian cuaca yang berubah tiba-tiba. Pernah suatu waktu--dia enggan membawa mantel sebab yakin jika hari itu hujan tak akan turun karena langit tampak sangat cerah. Alhasil, dia harus menelan pahitnya spekulasi dan membiarkan diri terjebak di sekretariat BEM hingga jam 9 malam.

Demi tak ingin mengulang kejadian serupa, kali ini ia membawa dua mantel sekaligus. Bukan karena Naeka serakah, melainkan ada manusia lain yang harus ia pastikan keamanan dan kenyamanan-nya saat berkendara dengan dirinya. Manusia itulah yang menjadi sebab dia menunggu belasan menit lamanya.

Menyadari gerak angin tak sekencang tadi, Naeka mulai memperbaiki rambutnya. Hal itu kontan membuat atensi banyak insan lagi-lagi terpusat padanya. Beragam bentuk pujian tercetus dari lisan mereka. Walau ada beberapa cibiran yang keluar dari mulut para lelaki yang merasa tersaingi akan keberadaan Naeka.

Usai menata surai legam miliknya, pemuda itu melirik dua bangku kosong tak jauh dari dirinya berdiri sekarang. Namun, saat hendak melangkah menuju kursi itu, suara seseorang menahan kakinya. Naeka berbalik dan menemukan seorang perempuan tengah memandangnya dengan raut tak terbaca.

"Mahasiswa sini?" tanya perempuan itu. Nada bicaranya terdengar ramah, kontras dengan wajahnya yang tampak galak.

"Bukan. Saya dari Universitas Harsa Bentala." jawab Naeka singkat. Dia enggan memperpanjang percakapan.

Mendengar itu, kedua alis si perempuan terangkat. "Anak UHB ke kampus kecil kayak gini, ngapain, Mas? Ada temennya disini?"

"Saya sedang menunggu Pres Naela. Kami ada janji."

"Naela?"

"Iya. Mbak-nya kenal sama Naela?"

Mimik muka perempuan itu berubah. Kentara sekali kalau dia tidak menyukai pertanyaan Naeka.

"Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya sama Naela? Setahu saya--dia hari ini ada rapat penting BEM."

Baru ingin membuka mulut lagi, Naeka mendengar suara gadis lain dari arah gedung. Dia menoleh, lalu mendapati sosok gadis yang ia tunggu--sedang berlari mendekat dengan pandangan lurus ke arahnya.

"Maaf, saya lama, yaa?" katanya, begitu berada di antara dua orang yang semula berbincang. Naela belum menyadari jika perempuan yang berdiri sejajar dengan posisi Naeka adalah Faradina.

"Nggak juga. Saya baru disini sekitar 15 menit yang lalu."

Dihinggapi rasa bersalah, membuat Naela bertingkah sembarangan. Tanpa sengaja ia membelakangi Faradina, menyebabkan perempuan itu praktis melipat tangan di depan dada seraya menatap punggungnya penuh kekesalan.

"15 menit itu lama." Naela melirik arloji warna putih yang melingkar di pergelangan tangannya, "pertemuannya sekitar 10 menit lagi. Kalau telat, gimana?"

"Kalau telat, ya minta maaf!" jawab Naeka asal yang sialnya berhasil mendatangkan gelisah untuk si gadis.

Naela berdecak. "Saya serius, Pres!" keluhnya.

"Anda kira saya bercanda?"

"Ehem." Keduanya spontan menoleh ke sumber dehaman. Naela yang berbalik sontak terkejut ketika melihat Faradina berdiri di belakangnya-lengkap dengan raut wajah yang tak sedap dipandang.

CATATAN PRESMAWhere stories live. Discover now