10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator

113 6 0
                                    

Bermenit-menit Naela terbuai oleh obrolan daring di room chat BEM. Meski hanya beberapa orang yang nimbrung, mereka mampu membuatnya tergelak berkali-kali. Gadis itu jarang memberi balasan. Ia hanya tertawa sebab lelucon yang dibuat oleh sebagian teman barunya. Hanya dengan begitu Naela mampu mendapatkan semangatnya lagi. Tak peduli harus menunggu berapa lama demi terlaksananya sebuah pelantikan, dia telah menghabiskan hari-hari kemarin untuk mengikhlaskan kerja keras yang ia lakukan sebelumnya.

Benar yang Hisyam katakan, dengan diundurnya pelantikan, Naela memiliki kesempatan untuk mematangkan perintilan-perintilan yang mungkin luput dari perhitungannya. Mulai dari struktur organisasi, program kerja, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Gadis itu mulai mengerti--bahwa seyakin apapun dia terhadap persiapannya kemarin, sesuatu yang dihasilkan dalam waktu begitu singkat pasti berpeluang memiliki kesalahan lebih banyak. Belum lagi ia mengerjakan semuanya nyaris hanya bersama Hisyam.

Kini Naela mulai menata rencananya kembali. Sepulang dari sekolah tempatnya mengajar tadi, ia mampir ke sebuah toko ATK untuk membeli dua buku catatan berbeda warna dan ukuran. Yang hitam ia gunakan untuk mencatat rincian kegiatan yang berkaitan dengan organisasi. Sementara yang warna merah akan ia isi dengan hal-hal mengesankan selama menjabat sebagai Presiden Mahasiswa. Yang merah lebih tebal sebab fungsinya menyamai buku diary yang bakal penuh oleh curahan hati Naela.

Gadis itu berangan-angan, kelak saat ia berhasil menyelesaikan tanggung jawab ini, selain foto-foto yang berhasil diabadikan di tiap momen, ia mempunyai tulisan yang akan selalu membuatnya serasa dibawa kembali ke masa lalu. Entah sebercak perih yang terasa, atau justru perasaan sukacita yang memenuhi rongga dada tiap kali membacanya. Yang Naela pahami, ia harus merealisasikan niatnya itu.

Perlahan tangannya mulai menggores lembar kosong itu menggunakan ujung mata tinta hitam. Menjauh dari ponsel yang masih menampilkan banyak notifikasi. Buku baru aromanya memang berbeda. Naela menutup hidung dengan sebelah tangan sebab ia tak menyukai bau yang ditimbulkan oleh lembar kertas itu.

Hanya book notes warna hitam yang ia tekuni. Yang merah ia biarkan berdiri disela buku yang lain. Gadis itu masih tak tahu apa yang harus ia tuangkan ke dalam lembar kosong disana. Jika tentang kegagalan pelantikan tempo hari, Naela rasa itu bukan hal seru untuk diuraikan dalam bentuk aksara.

Cukup lama gadis itu berkutat di tempat belajarnya, samar-samar terdengar deru motor dari halaman rumah. Naela melirik jam weker warna merah jambu yang ada di samping ponselnya. Belum jam pulang Zidan--menandakan jika suara motor yang ia dengar bukan milik bocah itu.

Alih-alih turun demi memeriksa, Naela malah semakin menyamankan duduknya. Ia masa bodoh pada siapapun yang berada dibawah sana. Buku catatan di hadapannya lebih menarik perhatian.

Sayangnya, gadis itu harus merelakan aktivitas menyenangkan ini karena tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar, diikuti suara lembut Ibu memanggilnya. Walau enggan, ia tetap beranjak. Membiarkan buku catatannya yang masih terbuka di atas meja.

"Opo buk?" tanyanya dengan nada malas. "Ayu sibuk lohh!"

"Ono koncomu."

"Hisyam? Opo Sisil?" tanya gadis itu lagi.

Ibu menggeleng, membuat Naela mengangkat kedua alisnya. "Ganteng anaknya. Ibuk baru ngelihat sekarang."

Naela yang masih berdiri di ambang pintu makin dibuat bingung. Seingatnya, tidak ada lagi yang tahu rumahnya--selain Hisyam dan Sisil. Terlebih Ibu menyampaikan bahwa seseorang yang tengah menunggunya adalah lelaki tampan.

"Lebih ganteng mana sama Angga Yunanda?"

Tanpa diduga Ibu malah menowel pipi Naela. Menyebabkan gadis itu mengerjap seketika. "Dibandingkan kok sama artis?! Ya ndak sama! Yang ini kalau senyum ada lesung pipinya, manis."

CATATAN PRESMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang