Bab Ketiga

770 81 2
                                    

Harsh word
Bullying

Sorry for typo



Noah kini sudah berada distasiun dimana dirinya akan kembali ke jogja menggunakan kereta api.

Noah yang tengah duduk di peron menunggu kereta itu sibuk memainkan permainan diponsel nya dengan telinga yang disumpal earphone.

Saat kereta mulai memasuki stasiun Noah mulai bersiap-siap, ia mematikan ponselnya dan menata barang-barang yang ia bawa untuk ia bawa masuk ke dalam kereta.

Butuh waktu sekitar delapan jam bagi Noah untuk sampai di Jogja, Noah yang berangkat menggunakan kereta malam itu akhirnya sampai di jogja saat pagi menjelang.

Noah keluar dari stasiun dengan dua koper berukuran besar serta tas ransel dipunggung itu berjalan keluar hingga akhirnya ia menemukan sosok laki-laki yang berusia lebih tua dari sang ayah itu sudah menunggu didekat mobil pribadi keluarga Darmawangsa.

"Selamat pagi pak Yanto." Ucap Noah begitu sampai didepan sang supir.

"Selamat pagi mas Noah." Pak Yanto berucap dengan kedua tangan yang memukul lembut tubuh Noah.

"Makin ganteng aja mas Noah ini."
"Bisa aja pak Yanto. Ngomong-ngomong, berhenti panggil aku "mas" pak, panggil aku Noah aja." Sang supir mengambil alih koper yang dibawa Noah untuk dimasukkan kedalam bagasi mobil.

Noah ikut membantu karena memang koper yang ia bawa berukuran cukup besar jadi ia tidak tega jika harus membiarkan sang supir membawanya sendiri.

"Njenengan niku anak majikan kulo. Nggeh pun sak patute kulo ngundang njenengan niku mas Noah." (Anda itu anak majikan saya. Ya sudah sepatutnya saya panggil anda itu mas Noah)

"Gak harus begitu pak Yanti. Pokoknya pak Yanto harus panggil aku Noah gak usah pake embel-embel apapun." Noah menutup pintu belakang mobil setelah selesai memasukkan koper dan tasnya.

"Sampun nggeh pak Yanto mboten sah debat, njenengan teko manut mawon. Monggo pak, kulo pun capek ajeng istirahat." (Sudah ya pak Yanto tidak usah berdebat, anda tinggal ikuti saja. Ayo pak, saya sudah capek mau istirahat).

Jika sudah seperti itu, sang supir tidak punya kuasa lagi untuk berbicara.

"Banyak yang berubah ya pak."
"Nggeh mas. Berapa lama mas Noah gak pulang kejogja?" (Iya mas).

"Pak Yanto, aku udah bilang loh buat berhenti panggil aku mas."
"Ngapunten mas, kulo supe." (Maaf mas, saya lupa).

"Berapa lama ya aku gak pulang jogja, kayanya ada deh dua tahun aku gak pulang, sejak aku masuk kelas sepuluh itu aku gak pulang, dan ini awal aku pulang langsung minta pindah sekalian."

"Kenapa pindah, No?" Noah tersenyum karena akhirnya sang supir berhenti memanggil dirinya dengan embel-embel.

"Gak enak pak. Disekolah isinya cuma anak pada pamer kekayaan orang tua dengan pakai barang-barang mahal semua." Noah tidak berbohong jika ia memang tidak nyaman dengan adanya hal seperti itu.

"Tapi disini juga sama aja. Karena sekarang anak sini udah banyak yang mengikuti gaya orang jakarta."

"Setidaknya disini aku gak akan bosen banget pak karena kalo aku bosen bisa jalan-jalan ke sawah atau ke pantai."

"Loh opo ning kono ra ono sawah opo pantai to?" Noah tertawa mendengar jawaban sang supir.

"Sawah ya mana ada pak Yanto. Dijakarta udah penuh sama bangunan tinggi, kalo pantai ada tapi gak sebagus pantai di jogja." Sang supir hanya mengangguk.

Sepanjang perjalanan untuk sampai dikediaman Darmawangsa, Noah dan sang supir terus saja berbicara kesana kemari hingga tak terasa mobil yang dikendarai snav supir sudah berhenti disalah satu rumah besar bertingkat dua dengan halaman yang begitu luas.

EPHEMERAL || NOREN (END) Where stories live. Discover now