Penawaran

251 40 2
                                    

Irene menatap tajam Jisoo yang tengah menunduk ketakutan. Tangannya meremas kuat rok yang ia kenakan. Hawa di rumahnya semakin tidak enak ketika Suho datang dan membentak Jisoo.

"Jisoo! Papa sudah mendatangkan pelatih kursus biola yang terbaik, mengapa kamu masih saja tidak berhasil mendapat juara 1!?" Bentak Suho.

Jisoo menunduk ketakutan dan kedua pipinya dipenuhi oleh cairan bening.

"Kamu sengaja membuat kami malu? Iya!?"

"Maaf pa, Jisoo sudah berusaha keras."

"Berusaha kamu bilang?" Kini Irene yang menyahut.

"Berusaha tapi masih mendapat juara 2? Itu kamu bilang usaha? Usaha yang sebenarnya adalah ketika kamu bisa menjadi no 1 diantara banyaknya pesaing."

Jisoo menggigit bibir bawahnya dengan kuat hingga berdarah. Sakit dibibirnya itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan rasa sakit yang ia terima dari kedua orang tuanya.

Kini, Jisoo meringkuk di ranjang empuk miliknya. Ia menatap nanar tangannya yang dipenuhi luka akibat terlalu memaksa berlatih biola sebelum kompetisi. Alhasil saat pertandingan, tangan Jisoo tidak bisa memainkan alat musik tersebut dengan sempurna.

Jisoo tersenyum kecut saat mengingat Suho dan Irene selalu membandingkannya Lia. Seperti apa yang dilakukan Jisoo tidak sebaik dengan apa yang dilakukan Lia. Seperti halnya beberapa waktu lalu saat Jisoo berhasil mendapat juara pada kontes menyanyi.

"Ma, Jisoo berhasil mendapat juara loh." Jisoo membawa piala besar.

"Ck... kemaren Lia juga mendapat juara 1 menyanyi. Kan kalo itu sudah biasa jadi tidak heran." Ucap Irene tanpa menengok sekalipun kearah Jisoo. Wanita paruh baya tersebut masih berkutat pada laptop kerjanya.

Dan masih banyak lagi perlakuan yang tidak mengenakan lainnya. Munafik jika Jisoo tidak iri dengan adiknya yang selalu dibanggakan oleh orangtuanya.

***

Jisoo menatap kosong objek didepannya. Ia sama sekali tidak terusik oleh keramaian yang diciptakan oleh para siswa dan siswi. Pikirannya sangat kacau saat ini. Orang tuanya terus saja meminta gadis itu untuk mendapat nilai sempurna. Bukan hanya itu saja, beberapa hari lagi akan ada penilaian praktek bermain bola basket. Sedangkan Jisoo sangat lemah dibidang itu. Mau tidak mau dia juga harus berusaha untuk itu.

"Ekhem..." Jisoo menoleh kearah sumber suara.

"Pasti kamu sedang memikirkan bagaimana cara agar mendapat nilai A saat praktek bola basket nanti." Ucap Sehun tanpa menoleh kearah lawan bicaranya.

"Aku bisa melatihmu sampai bisa, tapi ada satu syarat." Sehun melirik Jisoo dengan sinis.

"Apa?" Sahut Jisoo spontan.

"Ck... Kamu harus mengalah saat ulangan nanti. Yah, biarkan aku yang mendapat nilai 100 sedangkan kamu...um.... cukup 98 aja, dengan begitu kita impas. Sebut saja ini mutualisme." Smirk Sehun

Jisoo terkejut dan wajahnya merah menahan amarah karena Sehun. "Ini bukan saling menguntungkan."

"Ini saling menguntungkan. Aku tahu ini kelemahanmu. Seberapa besar kamu berusaha tidak akan bisa jika kamu tidak tahu teknik yang digunakan. Lagian siapa yang mau mengajarimu?"

Gadis berambut panjang itu memejamkan mata dan menghirup udara. Ia memikirkan tawaran Sehun. Apakah ia harus menerima atau tidak? Bayangannya terus saja mengarah kepada orangtuanya yang selalu memarahinya jika tidak mendapat nilai bagus.

Jisoo sangatlah bingung. Jika tidak menerima tawaran Sehun, tentu dia akan mendapat nilai di bawah standar. Tapi jika dia mengatakan 'iya', Jisoo akan mengorbankan nilai ulangannya besok meski selisih 2 atau 1 poin dari nilai sempurna.

"Kamu cukup serius memikirkannya ternyata." Sehun terkekeh.

"Baiklah, pikirkan matang-matang tawaranku. Aku pergi dulu." Sehun beranjak pergi dari tempat duduk.

"Sehun tunggu!"

Perfectionist FamilyDove le storie prendono vita. Scoprilo ora