Chapter 04

274 50 6
                                    

"Apa kau tidak punya mata?"

Aku sedikit terkejut dengan respon seorang pria yang tak sengaja kutabrak di halaman istana.

"Apa Anda tak melihat mata saya?" jawabku spontan. Katakan aku memang salah, tapi aku sedang terburu-buru. Lagi pula, istana minim penerangan di malam hari. Bayangkan saja rasanya hidup di zaman sebelum lampu ditemukan. Sebagai manusia modern, aku sangat kesulitan.

"Lancang sekali mulut dayang rendahan sepertimu!"

Duri menarik ujung pakaianku dan berdiri di depanku. Oh! Sepertinya aku mencari masalah dengan orang yang salah.

"Maafkan kami, Daegam," ucap Duri yang berusaha melindungiku.

"Dayang dari istana mana kalian?"

"Maafkan saya, Daegam. Saya tidak tahu kalau Anda adalah pangeran. Mohon jangan hukum kami," pintaku dengan merunduk, mengikuti apa yang Duri lakukan. Aku tak berani menatapnya karena banyak hal. Kalau masalah ini dibesar-besarkan bisa gagal rencanaku malam ini.

"Kali ini kalian kumaafkan. Jangan sekali-kali kalian berani mengangkat kepala lagi di hadapanku!"

"Baik, Daegam."

Aku melirik Duri masih dalam posisi menunduk. Wajahnya tampak seperti mayat hidup. Aku jadi kasihan melihatnya.

"Terima kasih, Duri," ucapku tulus setelah pangeran angkuh itu pergi.

"Sudah menjadi tugas Saya, Mama. Kalau sampai Pangeran Uiseong tahu Anda adalah putri mahkota, ini akan jadi sangat runyam. Menurut cerita dari dayang lain, ia sangat kejam. Berbeda sekali dengan putra mahkota."

"Oh, jadi dia Pangeran Uiseong? Adik putra mahkota? Tapi wajahnya terlihat lebih tua."

"Mama ...."

"Aku bicara kenyataan. Aku merasakan hawa seorang tirani."

"Anda lupa atau sengaja melupakan? Pangeran Uiseong adalah putra tunggal Selir Hwang. Menurut informasi dari dayang istana, beliau lahir sebelum putra mahkota sekarang dan putra mahkota sebelumnya."

"Jadi beda level, pantas saja."

"Level?" tanya Duri kebingungan.

"Maksudku tingkat, Duri. Kasta," jelasku belepotan, "oh, sepertinya terlalu berlebihan."

"Beda status ... sepertinya lebih tepat," koreksiku final. Sulit juga ternyata menjelaskan arti sebuah istilah yang dianggap asing.

Duri mengangguk patuh, "Mama, maaf kalau saya lancang. Apa Anda mempelajari istilah-istilah asing seperti tadi dari putra mahkota?"

Sepertinya aku memang sering kelepasan bicara. "Ya, ia mengajarkanku banyak hal."

"Syukurlah, saya sangat senang dengan perkembangan hubungan Mama dan Joeha."

Perkembangan, my ass? Tidak ada yang berkembang, Duri. Sayangnya, aku tak bisa menceritakan semuanya padamu.

"Itu, Mama."

Duri menunjuk gapura besar dengan penjagaan ketat yang kuartikan sebagai gerbang istana. Ternyata besar sekali istana di era Joseon ini. Meskipun aku pernah mengunjungi Istana Gyeongbokgung di Seoul, sepertinya tak seluas ini.

Aku berjalan bersisihan dengan Duri dan menunjukkan tanda pengenal yang disebutnya sebagai norigae pada pengawal di gerbang istana.

"Kami mendapatkan tugas dari putri mahkota, mengantar surat untuk keluarganya," jelasku sopan.

The Summer EscapeWhere stories live. Discover now