Chapter 11

158 30 5
                                    

Langkahku semakin cepat mengikuti pria dengan pakaian berwarna marun yang tengah berjalan beberapa meter di depanku. Sesekali ia merapikan posisi heuklip yang terpasang di kepalanya. Dari samping aku bisa memperhatikan figur wajahnya dan kuyakin mirip dengan gambar yang pria bercadar pernah tunjukkan padaku. Aku tak habis pikir. Kalau saja ingatanku tak didukung oleh memori putra mahkota tentangnya yang terlintas seperti kaset rusak, sudah pasti aku memilih tetap berada di pusat kota.

Entah karena ini adalah tubuh putra mahkota atau karena latihan fisik yang kulakukan setiap harinya, aku merasa sangat bugar dan lincah untuk membuntuti pria tua yang mencuri atensiku tersebut. Gerakan pria itu tergolong cekatan untuk usianya dan keterbatasan fisik yang bisa kutangkap dengan jelas. Bahkan jalanan yang dipilihnya juga bukan jalan biasa. Ia lebih memilih jalan sempit yang terkadang terjal.

Ketika pria di depanku mulai melewati jalanan sepi, aku menyamai langkahnya dan mendekati pria itu tanpa suara. Mungkin, dengan tubuh putra mahkota aku bisa saja menghentikan langkahnya sejak kami masih di tengah kota, tapi itu bukan pilihan tepat.

"Sampai kapan kau akan terus mengikutiku?"

Aku terhenyak mendengar peringatan itu. Ternyata, ia cukup peka untuk menyadari gerak-gerikku. Ya, hutan bambu ini cukup tenang untuk menjadi tempat kami bicara, jadi tidak ada salahnya kalau aku menampakkan batang hidungku.

"Bagaimana kabar Anda?" sapaku bersahabat, meskipun sebuah belati baru terbang hampir mengenai wajah tampanku.

Aku menahan diri untuk tak menarik pedang yang masih menggantung di pinggang agar tak mengintimidasi pria itu. Harus ada cara lain yang lebih bersahabat.

Sret! Bruk!

Pria itu berlutut ketika aku membekuk kedua tangannya dari belakang.

"Si— siapa kau!"

"Memang kau perlu tahu siapa aku?" tanyaku retoris, "kau hanya perlu dengarkan aku."

"Lepaskan!"

"Kenapa kau meninggalkan istana begitu saja? Kau pikir urusanmu dengan permaisuri sudah selesai?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.

"Seong— Seongnam Daegun?"

Rupanya ia cukup cerdas. Sekali tebak langsung benar. Aku tak membenarkan pertanyaannya dan terus mengikat kedua pergelangan tangannya di belakang.

"Maafkan aku, Daegun Daegam. Mereka mengancam akan membunuh ibuku yang sudah tua. Aku tak punya pilihan selain meninggalkan istana."

Bagiku semua adalah alasan, permaisuri mampu melindunginya kalau ia memang mencari perlindungan. Kecuali, ia memang pengecut yang lari dari permasalahan ini.

"Mereka? Siapa mereka yang kau maksud, Tuan?"

"Saya rasa Anda tahu. Apapun yang Anda lakukan, saya tak akan bisa bicara."

Seperti yang permaisuri pernah katakan, aku yakin ini pasti ulah kubu ibu suri. Tapi, yang di luar nalarku, bagaimana orang selicik dia memiliki orang-orang yang loyal. Oh, salah. Mereka mengetahui terlalu banyak kelemahan orang lain untuk mengancam.

"Lebih baik Anda bunuh saya saja."

"Belum saatnya, Tuan."

"..."

"Katakan siapa mereka dengan jelas, akan kulindungi ibu Anda."

"Tidak, Daegun Daegam. Mereka jauh lebih kuat dibandingkan Anda. Kekuatan yang Anda miliki tak akan pernah sebanding. Lebih baik Anda menyerah."

Sebegitu piciknya dunia ini. Tapi percuma saja aku memaksanya untuk bicara. Sekali mereka loyal pada satu tuan mereka akan setia, kecuali aku bisa membuatnya loyal padaku.

The Summer EscapeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora