Chapter 20

189 29 18
                                    

Hufth.

Belakangan ini, hidup di Joseon sudah seperti neraka. Penyekapan yang kualami kemarin sedikit banyak menggangguku. Pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang bisa aku percaya selain diriku sendiri. Pertolongan dari Pangeran Uiseong pun tak lebih dari balas budi karena aku pernah menyelamatkan nyawanya. Tanpa itu semua, benar kata Sangmin, mungkin aku tinggal nama.

Jadi, simpan saja harapan pria itu untuk melihatku tidak berburuk sangka. Yang jelas, karena sekarang aku berada di Joseon, aku akan mengusahakan apapun demi keselamatan putri mahkota. Biarlah nasibku di masa depan menjadi urusan Tuhan.

"Bin-gung Mama."

Pikiranku buyar ketika Duri memanggilku pelan. Spontan, aku meliriknya yang menatapku penuh sorot khawatir.

"Ada apa, Duri?"

Kali ini ia menunduk hormat padaku. Seolah cemas kalau sedikit sikap santainya akan membuatku sedih.

"Apakah tidak sebaiknya Anda beristirahat di kediaman Anda? Saya rasa angin sore ini cukup kencang. Ini tidak baik untuk kesehatan Anda."

"Oh, tidak perlu," tolakku pelan. Aku justru menikmati angin sore ini. Rasanya seperti angin di pantai. Anggap saja, atmosfer ini adalah pengganti pelesir yang seharusnya ku dapatkan di liburan musim panas.

"Saya sudah menyampaikan pesan Anda pada Kasim Cho. Setelah urusan putra mahkota selesai, saya yakin ia akan segera menghampiri Anda."

"Segera yang tak akan pernah datang," gumamku.

Ternyata Duri mendengarnya dan justru ia yang terlihat muram. "Putra mahkota akan datang, Bin-gung."

Aku membalasnya dengan senyum tipis. Sudah seharusnya aku berterima kasih atas pernyataan Moon Sangmin yang membuat semuanya jelas, aku hanya teman untuknya di masa Joseon. Jujur, ucapan Sangmin jauh lebih menyakitkan dari pada penolakan putra mahkota asli setelah pasangan kerajaan menghabiskan malam bersama. Kadang aku berpikir, apa aku harus menenggelamkan kepala dalam bak mandi agar bisa berpikir jernih?

Sekali lagi, debaran jantung itu, hanya aku yang merasakannya. Sudah seharusnya aku berpikir, apapun yang terjadi di sini—Joseon, akan berhenti di sini.

"Bin-gung Mama, dayang sudah menyiapkan kudapan kesukaan Anda di dalam, apakah Anda ingin makan dulu mengingat akhir-akhir ini Anda makan lebih sedikit dari biasanya?" tawar Duri untuk mengambil atensiku.

"Tidak, terima kasih."

Aku tahu sikapku belakangan ini memang kurang enak dilihat, tapi aku kehilangan nafsu makan. Mulutku rasanya pahit untuk mengunyah. Kalau dengan melihat makanan bisa membuat lambungku terisi, sudah kulakukan itu dari dulu.

"Kalau Anda begini terus—"

"Kumohon tinggalkan aku, Duri. Aku ingin sendiri," ucapku memotong kalimatnya. Tak berselang lama, kudengar langkah kaki menjauh dan kuyakin Duri kini mendengar kata-kataku dengan baik. Meskipun, aku tahu Duri tak pernah benar-benar meninggalkanku. Ia hanya mengambil jarak untuk mengawasi putri mahkota dari jauh.

***

Entah apapun alasan Pangeran Uiseong, aku merasa perlu mengundangnya untuk makan malam sebagai ucapan terima kasih. Untuk mencegah pikiran macam-macam dari abdi istana, aku menggunakan nama putra mahkota dan mengadakan jamuan di paviliun istana. Hanya saja, sampai saat ini baru Pangerang Uiseong yang menunjukkan batang hidungnya.

"Bin-gung Mama."

"Oh, Pangeran Uiseong, bagaimana kabarmu?"

"Cukup baik."

The Summer EscapeWhere stories live. Discover now