Chapter 10

263 42 8
                                    

Selepas makan pagi, aku mengganti pakaianku dengan hanbok biasa. Hmm. Maksudku adalah jeogori* berwarna kuning gading tanpa aksen keemasan yang hanya menutup dada dan chima* bermotif samar dengan warna gelap. Walaupun sederhana, sebenarnya masih saja pakaian ini berbahan sutra dengan corak bunga yang indah pada sisi depan jeogori. Jujur, aku sangat merindukan pakaian harianku di dunia modern. Kaos polos dan celana jeans. Apalagi, hari ini aku akan menjelajahi Hanyang. Bisa dibayangkan betapa panasnya berjalan-jalan dengan pakaian berlapis-lapis ini. Hufth.

"Akhirnya, aku lepas juga dari istana yang membuat dadaku sesak," seruku ketika kakiku melangkah meninggalkan gerbang istana.

Pria di sampingku menyahut, "Ew, kenapa sampai sesak. Bukannya kau hanya perlu berramah tamah dan menjadi asistenku?"

"Kenapa aku yang jadi asistenmu? Aku duluan yang sampai ke sini."

"Aku tahu, tapi misimu tidak jelas. Kau bilang apa semalam? Melindungi putri mahkota? Apa itu?" ejek Sangmin yang membuatku kesal. Ia terlalu bangga pada dirinya setelah petunjuk dari pria bercadar. Kalau aku jadi dia, pasti aku lari tunggang langgang setelah bertemu pria asing itu.

"Jangan salah! Itu sangat penting karena ancaman putri mahkota ada di dekatnya sendiri."

"Siapa?"

"Suaminya."

Sontak aku menutup mulutku ketika kusadari mulutku salah berucap.

Ia tersenyum kecut. "Sepertinya aku tahu alasanmu menagih janji untuk keluar istana. Kau mau kabur?"

"Tidak!"

Aku memang belum pernah menceritakan niatku kabur dari istana secara lugas. Tapi, mungkin pria ini bisa membaca niatanku selama berbicara. Ya, beberapa hari ke belakang, ia sering mengunjungi kediamanku di sore hari untuk sekedar mengobrol. Mulai mencari tahu awal mulaku tiba di Joseon, berbagai rumor yang kudengar, hingga cerita tidak penting tentang kegiatannya sehari-hari. Pria itu bahkan melaporkan padaku dayang-dayang muda yang dilabelinya dengan red flag karena mencoba menarik perhatian putra mahkota.

"Kalau kau kabur, sama saja membawaku dan keluargamu ke tiang pancung. Egois sekali," celetuknya satir. Ia memang berbakat untuk bicara tajam.

"Bukan begitu, tapi putri mahkota tidak dianggap oleh suaminya sendiri. Hidupnya sangat menyedihkan dengan cinta bertepuk sebelah tangan."

Sangmin berhenti melangkah, manik matanya menatapku lurus. "Kau pikir orientasi hidup keluarga istana hanya soal cinta? Lagi pula, instingku tidak mengatakan seperti itu."

"Memang penting instingmu itu?"

"Kau pernah bertanya kenapa aku bisa secepat itu mempelajari aturan istana? Semua karena aku mendengar instingku yang katanya petunjuk dari putra mahkota. It's a magic. Kurasa kau juga bisa coba melakukannya. Jangan sampai kau melangkah terlalu jauh dan membahayakan hidup putri mahkota," tutur Sangmin berceramah. Ya, kadang aku memang khawatir kalau aku salah menafsirkan semua ini. Mungkin, lain kali aku bisa membahas perihal perasaan putra mahkota dengan pria ini.

"By the way, kenapa pada akhirnya kau mengajakku ke Hanyang? Biasanya kau hanya sibuk berlatih pedang, belajar di Sigangwon, dan sisanya hilang seperti ninja."

"Aku sudah janji 'kan di depan permaisuri. Tapi, aku tak pernah cerita kalau aku ke tempat selain Sigangwon dan lapangan," jawab Sangmin lugas, " atau ... kau mengamatiku diam-diam ya selama ini?"

Aku mengangkat kedua tanganku.

"Tidak! Aku dengar itu dari Duri," kilahku meminta pembelaan dari Duri, "Duri, kau selalu melaporkan kegiatan putra mahkota padaku 'kan?"

The Summer EscapeWhere stories live. Discover now