Chapter 19

133 27 4
                                    

Lebih dari sebulan di Joseon, belum sekalipun aku merasakan ketegangan di medan perang. Tanah yang berlapis darah kering, mayat berserakan, ataupun barisan burung pemakan bangkai hanya kudengar dari para pengawal ataupun cerita Menteri Pertahanan. Belum sampai di sana saja, sekarang aku sudah di antara hidup dan mati. Pertarungan sebenarnya jauh berbeda dengan puluhan kompetensi kumdo yang ku ikuti. Setidaknya, motivasi dan alat yang digunakan tidak pernah sama.

"Seja Joeha, jumlah mereka lebih banyak dari pasukan kita," bisik seorang pengawal yang membantuku melawan gerombolan Tabib Kwon.

"Suruh seseorang untuk kembali ke istana mencari bantuan. Aku belum mau mati di sini."

Aku kembali fokus pada Tabib Kwon yang masih terbatuk-batuk setelah aku membuatnya tersungkur. Pria itu tersenyum sinis padaku dan membuang ludahnya.

"Kau bergerak lebih cepat dari yang kuduga."

Kupikir, setelah menghabisi Kepala Dewan Negara, Tabib Kwon akan menyerang ibu suri sebagai dalang dari pembunuhan Putra Mahkota Taemin. Namun, dugaanku meleset. Ia jauh lebih tak terduga dengan menjadikan calon penerus kekuasaan Joseon sebagai target, yaitu Aku.

"Aku tidak suka menunda-nunda, Seja Joeha. Kalau hidupmu bisa berakhir sekarang, kenapa harus nanti?"

Dengan napas tersengal, ia bangkit dari posisinya. Tanpa kusadari, ia sudah kembali mengangkat dan mengacungkan pedangnya padaku. Segera kutepis serangannya dengan pedang di tangan hingga mendorongnya mundur beberapa langkah. Untuk ukuran seorang tabib dengan disabilitas, ia cukup lihai dalam berperang. Pria itu kembali melayangkan pedangnya ke leherku.

Dash!

"Sayangnya, hari ini bukan hari terakhirku, Tabib Kwon."

Aku bergeser ke kiri dan berjalan mundur. Pria itu kesetanan dan aku tak boleh gegabah. Aku harus membawanya ke istana dalam kondisi hidup. Kesaksiannya lebih penting dari pelampiasan emosiku.

"Ini harus menjadi hari terakhirmu, karena besok putraku yang akan menggantikanmu mengenakan Gonryongpo putra mahkota."

"Ternyata, kau tidak ada bedanya dengan ibu suri. Sama-sama haus kekuasaan."

"Jangan samakan aku dengan jalang itu! Dia wanita serakah yang tega melenyapkan Putra Mahkota Taemin dan membantai kedua kakakku."

"Kau juga 'kan? Merencanakan pembunuhan kakakku dan mengambil nyawanya, lalu sekarang terang-terangan akan membunuhku?"

"Ya, aku membunuh putra mahkota lemah itu dengan cara serupa yang dilakukan tua bangka itu. Aku pun akan menghabisimu dengan cara yang sama yang mereka lakukan pada kakakku."

Dugaan permaisuri benar, pria ini merencanakan pembantaian keluarga kerajaan tanpa pandang bulu, untuk melampiaskan dendamnya. Pernyataan-pernyataan ini yang harus kubawa ke meja pengadilan.

"Kalau kau berhasil mencabut nyawaku, lantas kau mau apa?" tanyaku merusak konsentrasinya. Tabib Kwon bukan orang yang bodoh. Ia pintar dan licik. Satu-satunya cara untuk melemahkannya adalah merusak konsentrasinya.

"Tentu akan kubantai saudara-saudaramu dan keluarga kerajaan yang tersisa."

"Dan menjadikan putramu seorang raja dari hasil pembantaian? Betapa menyedihkannya rakyat Joseon harus memiliki raja semacam itu."

Pertanyaan retorisku sedikit membuatnya berpikir, sebelum ia kembali kehilangan nuraninya.

"Aku tak peduli. Dunia ini pun tak pernah peduli pada kami."

"Sayang sekali. Kalau kau punya niat lebih mulia, dengan senang hati kuserahkan posisiku. Berhubung kalian terlalu gelap mata, maaf-maaf saja."

"Aku juga tak butuh kerelaanmu. Kalau kau merindukan kakakmu, sudah saatnya kau menyusulnya ke neraka," pekik Tabib Kwon, "hyaaah!"

The Summer EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang