⛅ The Time is Ripe

686 194 134
                                    

Adisha bersin lagi. Udara sedang dingin karena hujan tadi malam lalu sialnya di kelas pagi ini dia kebagian duduk tepat di bawah AC. Tadi Adisha udah minta tolong sama anak-anak cowok buat mengecek mesin AC nya dan ternyata memang betulan sedang rusak. Jadi nggak mau dimatiin.

Mengetahui itu, Awan berinisiatif untuk berdiri sambil menunjuk bangkunya sendiri dan ngomong, "Tukeran aja sama gue, Dish. Lo duduk di sini."

"Eh? Tapi di tempat gue nih dingin banget loh, Wan."

"Gapapa, gue kuat dingin kok."

Awan menghampiri Adisha seraya membantu membawakan tas cewek itu ke kursinya. Senyuman terimakasih pun dilempar Adisha. Awan balas tersenyum juga.

Di sudut bangku lain, Langit memperhatikan. Jemarinya yang sedang memegang pena sontak mengetuk-ngetukkan ujung benda itu ke permukaan meja dengan brutal. Sampai fokus Wulan terpecah berkatnya.

"Lama-lama jebol tuh meja lo bikin."

Tatapan Langit beralih pada si teman, "Liat gak? Biasanya juga dia gak care loh sama cewek? Kenapa tadi perhatian banget?? Fak cemburu gua."

"Wow, kayaknya reaksi lo gak segininya pas Juni nembak gue deh. Padahal gue udah waspada waktu itu," Wulan menyipitkan mata, "Hm, jadi lo beneran udah oleng ke Awan ya?"

Alih-alih menjawab ya atau tidak, Langit justru berkalimat, "You know what? Something goes wrong between sky and cloud. Dan gue lagi mencoba nyari cara buat benerin ini. Cumaa masalahnya, sekarang gue sama dia tuh berasa balik jadi orang asing lagi setelah hari itu."

"Hari itu? Emang ada kejadian apa? "

Oh iya, Langit baru sadar kalau Wulan belum tau soal Awan yang menyatakan cinta padanya. Tak ingin membangkitkan jiwa kekepoan Wulan, cepat-cepat Langit menggeleng. Dagunya menunjuk dosen yang kebetulan baru masuk.

"Belajar belajar, bapaknya masuk tuh."

Dan beruntung Wulan langsung menghadap depan lagi mendengar itu. Langit berhasil menyelamatkan keadaan.

Tapi seperti yang Langit pikirkan, sama sekali tidak ada celah bagi dia untuk bisa ngobrol berdua saja dengan Awan tanpa diganggu orang lain akhir-akhir ini. Di kampus terlalu banyak distraksi, plus Awan sudah terlihat menghindarinya dari awal.

Oleh sebab itu, Langit gak punya pilihan selain mendatangi rumah Awan demi mengajaknya bicara. Langit yakin kalau disamperin langsung begini, target nggak akan bisa kabur-kaburan dengan mudah.

Sesampainya di rumah Awan, yang membukakan pintu adalah asisten rumah tangga Awan. Karena Langit juga suka kenal, si Bibi langsung menyapanya ramah.

"Eh, Langit toh. Mas Awan nya lagi ndak di rumah ih."

Belum sempat Langit merespon kalimat Bibi, tiba-tiba ada dua orang yang ikut menyembulkan kepala di ambang pintu itu. Rupanya lantaran mendengar nama Langit disebutkan oleh si asisten.

"Langit? Oh, jadi kamu yang namanya Langit?" tanya Mama. Meski agak bingung, Langit tetap refleks salim sambil mengunggah senyum sopan, "I-iya, Tante... halo, selamat sore..."

Tatapan gadis itu berpindah ke figur laki-laki di sebelah si Tante, Langit justru meneguk ludah. Masalahnya Bapak ini kelihatan galak banget. Dari postur berdirinya saja sudah tampak mengintimidasi. Aura tentara yang sangat kentara. Langit takut.

Tambah takut lagi begitu Papa akhirnya bersuara, "Langit juga ya yang kemarin baru aja nolak Awan?"

"Loh? Awan ditolak? Kenapaa?" sambung Mama rada syok, beliau menyipitkan netra gak menyangka. Suaminya hanya mengangguk. Sekarang tatapan mereka kompak beralih pada Langit. Memandangnya intens.

[✔️] Cloud & SkyWhere stories live. Discover now