Chapter 01

748 60 5
                                    

Desa Dafan, Distrik Yiling

Angin merayap di atas hamparan ilalang hijau, di bawah matahari sore yang teduh, menyelinap di antara helai-helai lembut yang bergoyang akibat hembusannya. Dari balik ilalang itu, seekor kuda hitam berjalan perlahan-lahan. Kuda itu tidak sendirian. Dia ditemani oleh seorang pemuda berwajah rupawan dengan tubuh tinggi ramping berpakaian serba hitam. Ujung jubah dan rambut panjangnya menggeletar ditiup angin.

Jalan setapak yang melintasi padang rumput itu sepi. Dikelilingi pepohonan yang merunduk layu bermandikan cahaya matahari lembut. Pemuda dan kudanya menempuh perjalanan tak tentu arah. Namun si pemuda tahu bahwa di ujung padang rumput ini akan ada sebuah desa kecil yang sepi. Pemuda itu berpikir untuk menuju ke sana.

"Aah, menyebalkan. Kenapa aku harus berkeliaran di antah berantah," si pemuda bergumam pada diri sendiri yang segera disambut ringkikan kudanya, seakan-akan binatang itu memahami gerutuan si empunya.

"Gara-gara para penjudi sialan itu," ia menggerutu lagi. Kali ini seekor belalang besar melompat dari balik ilalang, mengejutkannya.

Pemuda itu terus berjalan menuntun kudanya, dikawal keheningan alam sekitar hingga satu waktu dipecahkan oleh pekikan elang yang membumbung tinggi hingga ke atas awan, kemudian menukik melintasi suatu kedai minuman di gerbang sebuah desa.

Tak lama kemudian, si pemuda tiba di kedai kecil itu. Ada seekor kuda tertambat di sana. Dilihatnya juga dua orang pria desa duduk di meja kayu di teras kedai, menunggu makanan dan minuman dihidangkan.

"Nah, ini dia. Akhirnya aku menemukan kedai minum." Mata si pemuda berkilau oleh kegembiraan. Dia mempercepat langkah, mengikat kudanya pada pagar kayu dan melangkah menaiki undakan kayu, memasuki kedai kecil itu.

Pemilik kedai ternyata seorang wanita desa yang sudah tua dengan rambut kelabu dan senyum keriput di wajahnya.

"Selamat datang di kedai minum Bulan, Tuan Muda," dia menyapa, terlihat bersemangat saat mengamati sosok tamunya yang tampan, rapi, dan berpakaian bagus. Auranya jelas menunjukkan bahwa ia seorang putera pejabat atau setingkat itu.

Ya, dia memang seorang tuan muda, putera pejabat tinggi di distrik Yiling.

Wei Wuxian.

"Dua guci arak terbaik." Menempatkan dirinya senyaman mungkin di sebuah kursi, Wei Wuxian memesan sambil mengeluarkan kantong kecil berisi koin-koin emas dan perak, kemudian meletakkannya begitu saja di atas meja.

Sepasang mata wanita tua itu cemerlang oleh ketamakan.

"Akan segera kusiapkan." Dia berlalu ke dalam dengan tergesa-gesa.

Tidak lama dia kembali membawa dua guci arak beraroma wangi.

"Kau beruntung," kata si wanita tua sambil menghidangkan minuman ke depan Wei Wuxian.

"Arak ini hanya tersisa dua guci saja, dan sangat terbatas. Kau tidak akan menemukannya di kedai lain."

"Benarkah?" Wei Wuxian mengangkat sebelah alis dengan jenaka, menganggap bahwa itu adalah cara si pemilik kedai untuk mengangkat reputasinya yang menyedihkan. Kedai minum ini terpencil dan sepi, tak ada yang peduli apakah ia memiliki minuman dengan kualitas terbaik atau tidak.

"Nah, kau boleh mencobanya sekarang. Kau dari kota? Penampilanmu terlihat berbeda. Putera pejabat?"

Wei Wuxian tertawa sambil meneguk minumannya. Wanita tua itu terlalu banyak bicara untuk arak yang sangat biasa ini. Tetapi dia seorang pemuda yang juga sama-sama banyak bicara dan selalu memiliki senyum di wajahnya.

"Identitasku tidak penting," ia menjawab.

"Oh, ya. Baiklah, jika kau tidak mau mengatakannya." Wanita tua terkekeh, kemudian melirik kantong uang di meja.

𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦 𝐖𝐞𝐚𝐯𝐞𝐫 (𝐖𝐚𝐧𝐠𝐱𝐢𝐚𝐧) Where stories live. Discover now