Chapter 07

155 31 1
                                    

Mimpi demi mimpi datang silih berganti. Lan Wangji maupun Wei Wuxian sudah lama kehilangan hitungan akan hal itu. Musim gugur perlahan berlalu dan berganti salju. Seiring berganti pula hubungan misterius yang terjalin di dalam mimpi.

Kedua pemuda itu jatuh cinta satu sama lain. Semenjak itu, bagi mereka tidur bukan lagi sebuah istirahat, melainkan satu pintu masuk ke dunia baru.

Dunia mimpi, terkadang lebih indah dari pada dunia orang-orang yang terjaga.

🌸🌸🌸

"Sampai kapan kau mau mengatakan tentang mimpimu itu?"

Suatu pagi kala matahari mulai naik, Jiang Cheng datang ke kamar Wei Wuxian dengan wajah khawatir.

"Apa urusanmu. Ini waktuku dan mimpi itu milikku. Kenapa kau begitu cemas?" Wei Wuxian mengambil secangkir teh yang disiapkan pelayan di kamarnya.

"Kau sama sekali tidak mendengar? Kemarin Tuan Wen Rouhan, sahabat ayahmu yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan datang berkunjung kemari."

"Benarkah? Kenapa aku tidak bertemu?"

"Astaga, kau pergi berkuda seharian, membuat para pelayan repot mencarimu. Setelah matahari terbenam kau malah tidur seperti orang mati!"

Wei Wuxian menampilkan ekspresi pura-pura terkejut.

"Woah, ayah pasti akan sangat marah. Kau harus membantuku melarikan diri."

Jiang Cheng menggelosor dalam duduknya. Terkadang dia merasa kelelahan melihat reaksi sepupunya yang selalu acuh menanggapi semua hal yang terjadi.

"Kupikir lebih dari melarikan diri. Kau mungkin harus bunuh diri," sahutnya sinis.

Wei Wuxian berjalan menuju jendela, mengamati kesibukan pelayan yang merawat taman.

"Sayang sekali jika pemuda setampan dan sehebat diriku harus bunuh diri. Akan ada banyak orang yang patah hati dan sedih. Salah satunya adalah kau." Dia terkekeh ringan lalu melanjutkan sedikit penasaran, mencegah omelan Jiang Cheng yang sudah di ujung lidah.

"Memangnya ada berita buruk apa hingga kau merasa perlu menceritakan kedatangan menteri itu padaku?"

Jiang Cheng berdehem sebentar, benaknya menduga-duga reaksi apa yang akan ditunjukkan sepupunya.

"Tuan Wen menawarkan satu ikatan hubungan yang lebih dari teman. Untuk kepentingan dua keluarga, agar posisi keluarga kita lebih stabil di lingkar istana. Mereka ingin menikahkanmu dengan putri Tuan Wen."

Jiang Cheng bersiap-siap menghadapi reaksi berlebihan Wei Wuxian. Mengumpat, melempar cangkir, menendang meja kemudian tersaruk-saruk mabuk di malam hari. Tetapi di luar dugaan, kali ini Wei Wuxian hanya berdiri membisu di jendela. Dia nampak tidak terusik. Hanya tatapan matanya mengeras dan wajahnya diselubungi warna sepucat salju.

Ketenangan Wei Wuxian membuat Jiang Cheng khawatir. Bersikap anggun bukanlah gayanya. Dengan bertingkah seperti seorang tuan muda sejati, Jiang Cheng justru merasa cemas alih-alih lega. Apakah sepupunya sangat marah mendengar kabar ini hingga tak bisa berkata-kata?

"Wei Wuxian, katakan sesuatu! Reaksimu membuatku gelisah."

"Katakan pada ayah aku tidak menerima perjodohan ini," Wei Wuxian berkata, nadanya seringan angin semilir.

Jiang Cheng sudah menduganya. Pemuda pemberontak ini tidak akan patuh begitu mudah kecuali dia salah minum racun.

"Kau bilang saja sendiri. Aku tidak ingin paman mengomeliku kemudian memanipulasiku habis-habisan untuk membuatmu setuju."

𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦 𝐖𝐞𝐚𝐯𝐞𝐫 (𝐖𝐚𝐧𝐠𝐱𝐢𝐚𝐧) Where stories live. Discover now