Chapter 10

164 40 6
                                    

Pagi hari Wei Wuxian terbangun di kota yang baru dengan udara baru, menyapa sinar matahari yang baru lahir, memanggilnya untuk menyambut kehidupan. Semua yang ia lihat nampak aneh dan asing dan ia tidak mengetahui apa pun di sini. Tidak ada kenangan maupun gema masa lalu yang bisa diingat.

Namun, ada perasaan samar-samar bahwa ia merasa mengenal udara kota ini. Semacam déjà vu yang seketika melayang dengan ragu.

Jiang Cheng lebih bersemangat darinya. Tentu saja. Sepupunya selalu berusaha membuat suasana hati Wei Wuxian membaik dari hari ke hari. Jadi pagi ini, saat acara minum teh ditemani beberapa macam kue dan camilan, Jiang Cheng mengatakan rencana hari ini dengan berapi-api, dia ingin berjalan-jalan melihat-lihat seluruh kota.

Sebenarnya Wei Wuxian tidak keberatan. Mereka memang tidak memiliki tujuan khusus datang kemari selain karena melarikan diri dan juga mencari suasana baru penawar jiwanya yang lara.

Tapi dia merasa tidak sehat pagi ini. Mungkin sisa perjalanan semalaman dengan perahu, gejala-gejala mabuk perjalanan masih menyisakan pening di kepala.

"Aku tidak ingin pergi ke mana pun hari ini." Wei Wuxian menghirup tehnya, memasang ekspresi datar yang disambut desahan bosan dari Jiang Cheng.

"Ini tidak seperti dirimu. Dulu kau tidak bisa diam di rumah. Aku tidak tahan seharian berdiam diri di penginapan ini. Setidaknya, kita akan melihat-lihat beberapa tempat, mungkin bisa dimulai dari yang terdekat."

Wei Wuxian menggeleng dengan keras kepala.

"Semangat hidupku sedang turun. Kau tahu itu dengan baik. Akan lebih menyenangkan jika aku minum sepanjang hari dan tidur seperti orang mati. Sudahlah, besok saja jalan-jalannya."

"Eh, kau sangat membosankan," gerutu Jiang Cheng, merengut.

"Kau boleh pergi sendiri jika memaksa."

"Tentu saja." Jiang Cheng menaruh cangkirnya dengan keras, melahirkan suara denting saat menyentuh pinggiran piring.

"Aku akan pergi sendiri. Sayang sekali jika mengunjungi suatu kota tapi tidak menikmati pemandangan indahnya dan juga gadis-gadisnya yang cantik."

Wei Wuxian tersenyum kecil.

"Apa ada yang indah di sini?"

"Siapa yang tahu," Jiang Cheng menyahut frustasi. Di mata sepupunya, sudah tidak ada hal menarik selain pemuda ilusi bernama Lan Wangji yang telah lama pergi.

Jiang Cheng menghela nafas penuh ketidakpahaman.

"Bagaimana aku bisa berpura-pura untuk tertarik pada sesuatu, padahal tidak sama sekali," Wei Wuxian kembali berkata acuh sebelum menghirup lagi tehnya.

"Yah, pura-pura saja. Itu mudah. Bagian terburuknya adalah ketika kau sudah mulai melupakan ilusi indah mimpimu, kau akan sudah terlalu tua untuk berjalan-jalan. Kemudaan dan staminamu menguap bagai embun ditimpa sinar matahari."

Begitu Jiang Cheng menghentikan omelan, Wei Wuxian termenung. Tidak tahu bagaimana untuk mencerna ucapan sepupunya. Tetapi rasa khawatir itu menyelinap tanpa bisa dicegah. Ya, bagaimana kalau dirinya tidak pernah bisa berjumpa lagi dengan Lan Wangji, dan juga tidak mampu melupakannya. Rasa yang pernah ada itu mungkin akan menua, lahir pada pagi hari untuk mati pada malam hari.

Raut penuh kepahitan memenuhi wajahnya, membuat Jiang Cheng seketika mengalah.

"Ya sudahlah. Aku akan pergi sendiri. Mungkin setelah lewat tengah hari."

Wei Wuxian tersenyum miring dan mengangguk.

🌸🌸🌸

Dengan menyewa sebuah kereta kuda, Jiang Cheng berkeliling dan mengunjungi beberapa tempat di kota itu. Selain satu taman bunga yang dilimpahi warna warni cemerlang, dia juga berlama-lama di sebuah kedai teh yang terbilang paling besar di kota itu. Bangunannya terdiri dari dua lantai dikelilingi taman dan sangat memukau. Di sana Jiang Cheng mendengar beberapa percakapan pengunjung tentang pameran seni yang sempat terlupakan olehnya beberapa waktu.

𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦 𝐖𝐞𝐚𝐯𝐞𝐫 (𝐖𝐚𝐧𝐠𝐱𝐢𝐚𝐧) Where stories live. Discover now