Chapter 09

155 35 3
                                    

Terus berharap, tak ingin menyerah pada sebaris kata bernama putus asa.

Dua musim telah berlalu penuh kegelisahan. Di sisi lain, sang tuan muda berparas rupawan, Wei Wuxian, kehilangan cahaya hidupnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan minum arak, atau duduk di tengah rerumputan, di tepi kolam luas buatan yang penuh dengan teratai putih yang merunduk.

Pandangannya kosong tertuju pada hamparan kolam, seiring guguran daun berjatuhan di sekitarnya.

Diliputi perasaan bersalah, Jiang Cheng berusaha mengembalikan semangat si pemuda manis, menemaninya berburu, menunggang kuda, bahkan mabuk bersama di kedai arak bersama lantunan kecapi Nona Wen Qing yang jelita.

Tetapi apa daya, bahkan lagu yang mengalun bersama petikan senar lembut hanya membawa angan semakin jauh kembali pada nada-nada sedih di masa yang telah lalu.

Jiang Cheng benar-benar sudah kehabisan akal. Setiap hari dia memikirkan alasan untuk membujuk Wei Wuxian agar mau melakukan hal baru yang bisa meredakan kesedihan hatinya.

"Izinkan aku memeluknya sekali lagi," itu adalah kalimat yang senantiasa bergumam di bibir indah si pemuda manis.

Kala senja menyapa di akhir musim panas, Jiang Cheng mendengar satu kabar dari pembicaraan para tamu penting yang sempat berkunjung beberapa hari sebelumnya ke mansion Tuan Besar Wei.

"Seorang seniman berbakat di kota Gusu akan mengadakan sebuah pameran seni besar, rumor mengatakan bahwa lukisan dan seni kaligrafinya merupakan yang terbaik di kota itu."

Gusu?

Jiang Cheng berpikir seraya berjalan menyusuri emperan panjang paviliun yang berbatasan dengan taman.

Kota kecil dan molek di sebelah barat dermaga sungai Yangtze. Sepanjang pengetahuannya, di sanalah lokasi kota itu berada.

Wei Wuxian tidak terlalu menyukai seni, dia tahu itu dengan baik. Tetapi bukan pamerannya atau ketertarikan pada seni yang saat ini menjadi topik menarik di lingkar istana, yang menjadi tujuan utama Jiang Cheng. Dia hanya memikirkan satu gagasan dan itu sudah cukup, melakukan perjalanan dengan kapal mengarungi sungai Yangtze yang merupakan salah satu sungai terbesar, akan menjadi petualangan menarik yang bisa ia dan sepupunya lakukan.

Mungkin seiring mengalirnya arus sungai menuju laut, akan sirna pula kesedihan Wei Wuxian. Hanyut dan hilang bersama waktu.

Jiang Cheng menemukan sepupunya termenung di bawah pohon di tepi kolam.

"Wei Wuxian." Dia mendekati pemuda berpakaian biru gelap, warna yang memperkuat kesan pucat di wajah indah yang sepanjang hari dihinggapi duka.

"Aku ingin mengajakmu bepergian. Semacam petualangan. Kita bisa menikmati pemandangan, menikmati suasana baru, mengunjungi tempat yang belum pernah kita datangi. Bagaimana?"

Wei Wuxian menatap sepupunya heran. "Kau masih belum menyerah untuk menghiburku?"

Jiang Cheng menyentuh tangan Wei Wuxian.

"Ya, sebagaimana kau tidak menyerah pada mimpimu, aku juga tidak akan menyerah untuk mengembalikan senyumanmu. Kita lihat siapa yang lebih keras kepala."

Wei Wuxian tersenyum hambar, meneliti ekspresinya.

"Aku heran mengapa kau begitu niat untuk membuatku gembira. Sepertinya ada perasaan bersalah dalam sorot matamu. Apa ada yang kau sembunyikan?"

Jiang Cheng cemberut, sekaligus merasa tersindir secara halus. Diam-diam ia cemas jika Wei Wuxian mengembangkan kecurigaan terhadap dirinya. Wei Wuxian terlihat semakin kacau akibat dari ramuan racun patah hati, ia tidak pernah bisa berjumpa Lan Wangji lagi.

𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦 𝐖𝐞𝐚𝐯𝐞𝐫 (𝐖𝐚𝐧𝐠𝐱𝐢𝐚𝐧) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن