37

53.7K 5.7K 1.6K
                                    

A Frozen Flower
Sekuntum bunga yang beku
🥀

1,8k vote - 1,4k komen for the next chapter•

Meira berjalan lunglai menuju ke arah Launa yang terduduk santai di belakang mansion. Perempuan itu terdiam sejenak menatap punggung Launa dari belakang kala jarak mereka sudah dekat.

Meira ingin mencobanya, sebab ia sudah tak tahan. Tapi, apakah ini akan menjadi keputusan yang benar?

Meira menjatuhkan air matanya memikirkan itu semua. Bibirnya bergetar, rasa sakit dengan lebam ruam disekujur tubuhnya masih begitu terasa. Ia menunduk mengusap perutnya, memejamkan matanya guna menguatkan dirinya.

"Nyonya..."

Launa menoleh mendapati panggilan lembut dari Meira. Tersenyum ibu hamil itu mendapati temannya datang menghampirinya.

"Mei, sini duduk!" Launa menepuk kursi di sisi kanannya mengajak Meira untuk bergabung dengannya. "Kau mau sandwich? Cobalah, Zion membelikannya di resto favoritku. Aku jamin kau pasti suka."

Mata Meira semakin gemetar melihat kebaikan majikannya itu padanya. Ia menunduk tak kuasa menahan sedih. Menggigit bibir bawahnya dengan tangannya yang senantiasa mengusap perutnya.

"Nyonya..."

"Iya?" Launa menyadari raut kesedihan Meira, tangannya terangkat mengusap bahu perempuan itu. "Mei, are you okay?"

Meira menggeleng pelan, perempuan itu kian menundukan pandangan. Tak berani menatap Launa, sebab ia malu luar biasa.

"Kenapa? Ada hal yang menganggumu? Katakan. Barangkali aku bisa membantu."

Melihat gelagat kesedihan perempuan itu tentu membuat Launa ikut risau. Ia tidak mau teman satu-satunya itu merasakan kesedihannya sendirian. Paling tidak, Meira bisa sedikit membaginya padanya.

"Nyonya..."

"Iya?"

"Tolong saya..."

Launa membalas tatapan Meira yang kini tengah menatapnya memohon. "Apa yang bisa aku bantu?"

"Tolong bantu saya agar bisa keluar dari mansion ini."

"Kau mau resign?"

Meira menggeleng. "Melarikan diri."

Launa sedikit menyerngit tak mengerti. Jika memang ingin keluar dari mansion ini, itu artinya Meira hanya tinggal mengundurkan diri dari pekerjaannya, bukan? Lantas mengapa perempuan itu harus melarikan diri dan seketakutan ini?

Meira meraih satu tangan Launa untuk digenggam oleh kedua tangannya. Ia mengerti atas ketidakpahaman Launa terhadap tindakannya yang mendadak ini. Maka dari itu, Meira akan menjelaskannya intinya, singkat, dengan sebuah pengakuan.

"Sebelumnya saya minta maaf, karena mungkin pengakuan saya akan menyakiti Nyonya. Tapi—Nyonya berhak tahu." Air mata Meira jatuh dalam sekali kedipan, perasaan bersalah menggumpal kuat di dadanya.

"Karena Nyonya berhak memiliki privasi di hidup Nyonya sendiri," kata Meira membuat Launa semakin kebingungan tak mengerti. "Nyonya berhak menjadi perempuan yang dihormati, bukan hanya sekedar dicintai."

A Frozen Flower [ Terbit ]Where stories live. Discover now