Chapter Nineteen : The Trust

2.8K 450 58
                                    

Mia menolak menjelaskan lebih lanjut kenapa dia mendadak masuk ke kamarnya, lalu memeluknya dengan ekspresi lega. Alex pun memutuskan untuk tidak mendesaknya dan hanya mengusap-usap rambut cokelat gelap panjang itu. Lagipula dia mulai rindu melakukan ini.

Di menit saat Mia memutuskan untuk mengangkat kepalanya kembali, dia tersenyum tipis.

"Aku tidak apa-apa sekarang. Maaf mengagetkanmu."

"Apa yang terjadi? Atau ada yang kau lihat?" tanya Alex dengan mata mencari-cari jawaban di ekspresi Mia.

"Damian tampak menyudutkannya tadi saat aku tidak sengaja bertemu mereka di tangga. Tapi aku tidak dengar apa yang mereka bicarakan," mendadak Sandra masuk kembali membawa sebuah tas di tangannya. Tampaknya tadi dia keluar untuk mengambil peralatan yang ketinggalan dan tidak sengaja melihat situasi Mia yang terlihat seperti tikus di depan kucing lapar.

"Benarkah?"

Ragu-ragu, Mia mengangguk pelan.

"Apa yang dia katakan padamu?" suara Alex terdengar jauh lebih serius.

Mia yang takut kalau ceritanya akan membuat masalah baru bagi Evidance mencoba untuk memilih kata-katanya dengan hati-hati. Keningnya mengkerut saat dia berpikir keras.

"Dia ... dia bertanya kenapa aku menangis, lalu dia mulai menebak-nebak. Aku mencoba bilang tidak ada apa-apa, tapi tebakannya seperti mengarah ke ... Jimmy." Mia mengangkat pandangannya pada tatapan Alex yang menunggu penjelasannya dengan sabar dan ekspresi tak terbaca.

"Jadi menurutmu dia tahu tentang kondisi Jimmy?" Sandra bertanya Kembali, mencoba memastikan apa yang dia dengar tidak salah. Mia mengangguk.

"T-tapi aku tidak yakin. Dia tidak mengatakan dengan jelas nama Jimmy, hanya menyebut-nyebut tentang virus MT."

Sandra terdiam. Dia meletakkan tasnya ke atas tempat tidur Alex yang kosong dan menarik satu kursi, mendudukinya dengan kedua kaki tersilang dan tangan terlipat yang membuat dadanya semakin terlihat membusung. "Menurutmu ini pantas untuk diceritakan ke Jhonny?"

Tanpa melepas pandangannya dari Mia, dan dengan kedua tangan masih tersampir di pundak gadis itu, Alex menjawab. "Kurasa tidak, kita tidak tahu pasti siapa yang dia bicarakan."

Kedua alis Sandra menukik tidak setuju, "Tidak ada siapa pun lagi orang yang menderita virus itu selain Jimmy di kelompok ini, Alex. Bahkan di aliansi ini."

"Tidak perlu."

"Tentu saja itu perlu, Alex. Apa yang kau pikirkan? Kau tidak lihat cara dia menyudutkan Mia tadi, dia jelas merencanakan sesuatu. Sejak awal aku sudah punya firasat buruk tentang dia."

Alex meremas lembut pundak Mia.

"Kita tidak tahu jelas tentang itu, Sandra."

Sandra mendengus, mulutnya terbuka seperti kehilangan kata-kata.

"Walaupun begitu, tidak ada salahnya memberi peringatan kepada pemimpin kelompokmu agar dia berhati-hati kan?"

"Tidak ada gunanya membicarakan hal yang tidak punya bukti jelas. Itu hanya akan memperburuk keadaan."

"Mungkin aku bisa menceritakannya ke Jhonny sendiri kalau kau tidak ingin melakukannya kalau begitu. Alex, kau pasti tahu betapa pentingnya hal ini? Orang luar tidak seharusnya tahu tentang kondisi Jhonny. Akan sangat berbahaya bagi posisi kalian dalam aliansi."

"Benar, dan kau sepertinya lupa kalau kau juga tidak seharusnya tahu tentang hal ini, jadi lepaskan saja, kau bukan dari Evidance, Sandra." Alex menyambung cepat. Mia menarik ujung kaos yang digunakan Alex untuk memintanya mengendalikan diri dan tidak mengatakan hal yang hanya akan membuat Sandra sedih.

Mia menatap Sandra penuh kekhawatiran, tapi wanita yang sempat terdiam beberapa saat itu, kedua matanya membuka lebar seolah dia tidak percaya apa yang dia dengar barusan.

"Kau sungguh menyamakan aku dengan orang yang baru datang ke Aliansi kita, Alex?"

Alex tidak mejawab, tapi tidak juga membantah pertanyaan retoris tersebut.

Sandra mendengkus, "Sulit dipercaya," ucapnya sebelum meletakkan beberapa pil di atas nakas di sebelah kasur, sebelum bangkit dan pergi membawa tas yang dia bawa tadi.

Ketika pintu kamar itu kembali tertutup, Mia menatap Alex dengan kening mengkerut. Dia melakukannya lagi, pikir Mia.

"Sandra ..." Mia mencoba mengejar, tetapi Alex menahan tangannya.

"Tetap di sini, biarkan dia pergi."

"Tapi Sandra ..."

"Mia." Alex tidak membiarkan Mia melanjutkan kata-katanya. Laki-laki itu hanya menatapnya lekat-lekat hingga ancang-ancang Mia untuk mengejar perlahan menghilang. Tapi tidak dengan kerutan di dahinya. Campuran antara bingung dan tidak suka.

"Kenapa harus bicara seperti itu ke Sandra? Dia banyak membantu dalam mengobati lukamu."

Alex tidak langsung menjawab, dia menghela napas sebelum membuka mulutnya, "Karena Sandra bicara menggunakan perasaan, bukan fakta. Itu hanya akan membuat keadaan semakin keruh. Damien mungkin akan bergabung dalam aliansi, dan rencana itu bisa gagal kalau mereka saling mencurigai."

"Tapi kau tidak lihat sendiri bagaimana Damien bicara tadi. Apa kau tidak peduli kalau dia melakukan sesuatu padaku?"

"Apa dia menyakitimu? Mengatakan terang-terangan kalau dia tahu Jimmy sakit?" tanya Alex langsung, yang jawabannya memang tidak. Damien tidak terus terang bilang dia tau soal Jimmy, dia juga tidak menyakiti Mia.

Belum sempat Mia menjawab, Alex bicara lagi, "Kalau jawabannya tidak, berarti tidak perlu diceritakan kepada Jhonny."

"Tapi tidak ada salahnya memberi peringatan kan?" Mia masih tidak menyerah. Dia tidak tahu kenapa Alex menjadi sangat kontra untuk memberitahu Jhonny. Kalaupun yang mereka duga salah tentang Damien, mereka tidak akan dirugikan.

"Jika Jhonny tahu, dia akan terlalu waspada. Kita butuh aliansi ini."

"Alex--"

Alex mendadak menangkup wajah Mia, dan menekan bibirnya lama pada Mia, menghentikan protes yang ada di ujung lidah gadis itu.

"Aku tahu kau masih marah padaku, tapi untuk kali ini, percayalah kepadaku?"

Mata Mia membulat, bibirnya kesulitan membentuk kata-kata. Mia yakin dia mungkin terlihat seperti orang bodoh sekarang. Dengan belaian lembut ibu jari itu di pipinya, dan mata menyorot tajam seperti menembus jiwanya. Alex tidak tersenyum, tidak juga terlihat mengejek kebisuannya, tapi menunggu dengan sabar jawaban yang ia tahu akan dia dapatkan.

"Tidak akan ada yang menyakitimu, aku berjanji."

Bibir Mia yang membuka dan menutup seperti ikan yang terlempar ke darat, akhirnya menyerah. Mia mengangguk, mengundang senyum tipis tak biasa di wajah laki-laki itu.

***

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang