Chapter Twelve : The Thing He Regret (Part 1)

10.5K 1.8K 186
                                    

Hampir sampai...

Kata-kata itu sudah seperti mantra untuk Mia agar dia terus berjalan, tidak peduli sesulit apa pun keadaannya. Sekalipun Mia merasa tulang pundaknya akan lari karena dicengkram terlalu kuat oleh Alex yang hampir jatuh, atau Alex yang dengan sadar akan berat badannya dan menumpukan seluruhnya kepada Mia. Mulut gadis itu tetap terkunci.

Sebab Mia tahu, hanya itu yang Alex butuhkan untuk memaksanya kembali ke kamar dan menyudahi usaha gadis itu untuk menolongnya sekarang ini.

Ruang tengah yang berisikan meja dan kursi-kursi kayu bahkan sempat menjadi saksi bisu perjalanan mereka. Ketika satu buah kursi menjadi korban setelah ditabrak oleh Alex yang limbung. Menghasilkan suara hantaman kayu yang memekakkan telinga di tengah suasana sepi karena sudah larut malam.

Mia membuka matanya perlahan setelah suara itu berhenti dan buru-buru melihat ke belakang. Tidak ada orang.

"Kau baik-baik saja?" bisiknya khawatir. Refleks langsung melihat ke kaki Alex yang dia gantung agar tidak menginjak lantai.

Alex mendecak, nada suaranya terdengar kesal. "Sudah kubilang lupakan saja semua ini dan ayo kembali ke kamar. Lagipula lukaku masih bisa diperiksa besok kan?" tanyanya retoris. Mia kembali menarik lengannya ikut berjalan pelan-pelan.

"Hei, kau kira aku akan mati hanya karena satu luka infeksi saja? Aku sudah pernah melewati yang lebih sulit dari ini. Ini bukan masalah besar. Kau dengar aku tidak sih? Mia!"

"Sssttt, jangan berisik Alex!" Gadis itu melotot ke arah Alex, sambil meletakkan satu jari telunjuk di depan bibirnya.

Alex menatap sisi wajah Mia yang tidak bergeming dan terus menghadap ke depan tanpa menggubris perkataannya. Tidak ada tanda-tanda dia akan mendengarkan dan hal itu sungguh membuat Alex kesal. Dia baru tahu kalau Mia bisa sekeras kepala ini, dan sifat barunya itu telah berhasil membuat Alex frustasi.

Sesampainya di dalam kamar mandi, hal pertama yang dilakukan gadis itu adalah mengunci pintu. Membuat ruang 3 x 3 meter tersebut sontak menjadi gelap gulita. Alex menunggu di tempatnya berdiri, memperhatikan Mia yang bergerak dan terlihat sangat yakin dengan apa yang sedang dia lakukan.

Satu-satunya cahaya yang mereka miliki berasal dari sebuah lampu minyak, dan diletakkan di dekat westafel. Memberikan penerangan yang cukup walaupun temaram. Cukup untuk Alex melihat bak mandi yang sudah terisi air, dan cukup bagi Alex untuk membantunya melihat wajah Mia yang mendadak gugup begitu melihatnya menatap dan menunggu instruksi selanjutnya.

"Apa lagi sekarang?"

Gadis itu semakin gelagapan. Sibuk melihat ke arah lain. Ke mana saja asal tidak membalas tatapan Alex yang menunggu dengan kepala yang sedikit ia miringkan.

"Mmm ...," gumamnya tidak jelas. "Oh iya, bajumu, lepaskan." Mia buru-buru mendekat tapi seperti tersengat listrik, dia kemudian langsung mundur lalu berbalik memunggungi Alex.  "Maaf, aku tidak akan lihat." Tangannya berulangkali terangkat menyeka wajahnya.

Alex mendengus geli. Mia terlalu polos, sampai dia tidak tahu kalau dilihat saat sedang telanjang oleh perempuan adalah hal terakhir yang ditakutkan seorang laki-laki seperti dirinya. Sandra pasti akan tertawa jika dia ceritakan tentang ini. 

"Sudah, lalu apa?" tanyanya lagi begitu selesai melepaskan kaus yang dia pakai.

Pelan-pelan Mia mulai menolehkan kepalanya, dari sudut matanya yang besar dia mengintip. Alex sudah menahan senyum bangga menantikan reaksi gugup Mia melihatnya tanpa baju, tapi dia harus menelan kekecewaan karena satu-satunya yang menarik perhatian gadis itu justru luka di bagian perut sebelah kirinya yang dari kemarin memang sudah dirasa gatal oleh Alex.

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang