Chapter Two : The Struggle

12.5K 2.2K 125
                                    

Mia

Suara bisikan yang terdengar sangat dekat dan seseorang yang mengguit pipiku dengan jarinya, menjadi penyebabku bangun pada hari itu.

Mataku membuka perlahan dan mendapati Jimmy yang tengah berjongkok di tepi tempat tidur, tersenyum lebar membuat mata sipitnya jadi tinggal segaris.

Aku tidak terkejut sama sekali. Karena hal tersebut sudah menjadi rutin selama beberapa minggu belakangan ini. Terutama sejak peralatannya rusak dan masih belum bisa diperbaiki, sementara pekerjaan kasar terlalu berat untuk tubuhnya yang ringkih, mengakibatkan kewajiban untuk membuat Jimmy selalu terhibur mendadak jatuh ke pundakku.

Dia selalu datang dan menyuruhku banyak hal sementara dia menonton dari jauh. Atau terkadang dia akan mengajakku ngobrol di kamarnya sambil gantian bermain tetris.

"Lihat siapa yang akhirnya bangun..." katanya tanpa rasa bersalah, "Selamat pagi Bungaku."

Kupenjamkan mataku lambat-lambat sebelum membukanya kembali untuk mengusir rasa ngantuk. Kupaksa tubuhku untuk duduk setelah itu.

"Masih mengantuk?"

Aku tersenyum kecil, sambil sekuat tenaga menahan mataku agar tidak tertidur lagi. "Sedikit. Tapi tidak masalah."

Senyumnya semakin lebar. "Bagus, karena aku ingin kau melihat apa yang kutemukan pagi ini." Ujarnya sambil menaruh dua kaleng buah leci di atas ranjang. Makanan yang kuambilkan untuk Jimmy dari kawasan tak bertuan, dan kuletakkan di atas mejanya waktu dia tertidur tadi malam. "Santa memberiku hadiah!" serunya dengan mata berbinar-binar sambil membaca lebel di kaleng tersebut.

Sambil menyandarkan kepala di atas lutut yang ditekuk, sebyumku mengembang melihat ekspresi antusiasnya mendapat hadiah.

"Jadi hari ini natal?" tanyaku, mengikuti permainannya.

Jimmy menatapku seolah pertanyaanku aneh sekali, "Tentu saja. Kau tidak lihat di luar saljunya tebal sekali? Carlos juga sudah memasang pohon cemara di ruang tengah."

Aku terkekeh, mendengar hal yang tidak mungkin itu. "Kau suka?"

"Ya. Terima kasih Santa." Jawabnya lembut, lalu kembali ke dirinya yang biasa. Jimmy mengedipkan sebelah matanya padaku seolah semua ini bukan hal yang terlalu spesial.

"Sama-sama."

Jimmy mengangguk, kemudian menoleh ke arah lain. Dia menebar pandangannya ke sekiling kamar, "Ngomong-ngomong, aku datang ke sini bukan hanya untuk berterima kasih pada Santa penyusup yang telah masuk ke kamarku, dan memberiku bekal. " ujarnya, meraih sesuatu dari atas meja di sebelah ranjang, kemudian menimang lonceng itu di telapak tangannya.

Aku yang tadinya ikut memperhatikan lonceng kuning yang selalu ku bawa kemanapun semenjak pemiliknya menghilang tanpa jejak. Kini kembali mencari-cari mata laki-laki itu.

"Bekal?"

"Iya, bekal." Jimmy mengangguk, lalu melirik ke arahku. "Aku dan Jhonny akan pergi untuk beberapa hari. Aku perlu menemi Ades, sementara Jhonny perlu berada di suatu tempat untuk negosiasi, membicarakan dugaanmu waktu itu tentang siasat orang-orang dibalik dinding. Tanggung jawab memang diserahkan kepada Carlos selama Jhonny pergi, tapi aku yakin Annona yang akan lebih banyak memerintah. Jadi lakukan usaha terbaikmu untuk membuatnya tidak kesal." Katanya sambil menarik tanganku dan mengembalikan loncengnya.

"Apa ini soal Alex?" tanyaku ragu waktu Jimmy mulai bangkit dari duduknya.

"Tidak sepenuhnya soal Alex, tapi salah satunya memang tentang dia. Jhonny ingin menjadikan Alex sebagai prioritas, tapi dia tetaplah pemimpin. Survivor lain yang berlindung padanya tidak bisa dia abaikan begitu saja." Ujarnya. Membuatku menelan kekecewaan dan perasaan takut kalau mereka memang akan melupakan Alex. Jika Alex memang masih hidup, entah hal mengerikan apa yang bisa dilakukan orang-orang kejam itu padanya. Ingatan tentang Davine yang dibunuh dengan keji di depan mataku waktu itu pun kembali terulang. Teriakan itu, bahkan kegelapannya yang menyesakkan.

"Jhonny tidak bisa, tapi aku bisa." Ujarnya menggantung, membuatku menengadah untuk melihatnya. Laki-laki dengan jutaan trik, yang tidak seharusnya kubiarkan untuk memegang harapanku.

Sebelah tangan Jimmy yang tidak memegang kaleng, terangkat untuk mengusap rambut dari wajahku. "Berapa skor Tetris terakhirmu?"

"275.100." jawabku jujur, masih sangat jauh dengan high score Jimmy yang harus ku capai untuk membuatnya mengabulkan semua permintaanku.

"Sayang sekali." Dia mengedikkan bahu. Lalu berjalan ke arah pintu keluar. "Kau akan baik-baik saja di sini sendiri. Cukup kuatkan keinginanmu yang pernah kau bilang padaku waktu itu."

Aku ingin diterima.

Kepalaku mengangguk.

"Sampai jumpa, Bungaku. Jadi anak baik ya." Dia melambaikan tangannya dan keluar dari sini.

***

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang