Chapter Fourteen: The Day When You Leave Me

12.3K 2K 321
                                    

Kira-kira saat itu pukul 8 pagi. Matahari masih belum begitu tinggi, tapi sudah cukup terang untuk membuat orang-orang memulai pekerjaannya.

Sayangnya Mia sudah tidak tahu lagi hal apa yang harus dia lakukan karena semenjak makanan ada lebih banyak, dapur umum hanya beroperasi dalam jam-jam tertentu saja. Keadaan pangan mereka kembali membaik semenjak Jhonny kembali, dan seperti kumpulan serigala yang kembali memiliki pemimpin, para survivor bergerak hingga akhirnya menemukan wilayah tak bertuan yang masih belum terjamah. Sebuah swalayan besar yang bahkan masih menyimpan buah kaleng yang dapat di makan.

Jhonny juga melakukan pertukaran dengan beberapa kelompok kecil yang ditemuinya di tempat Baron, hingga berhasil membuat mereka menyerahkan hasil panen untuk beberapa pucuk senjata rakitan.

Berkat semua itu para survivor akhirnya kembali dapat menyantap makanan padat yang lebih bernutrisi. Sayangnya hal itu malah berdampak pada Mia yang kekurangan jam kerja. Dia kembali merasa tidak terlalu penting di dalam kelompok.

Berbeda dengan orang lain yang suka saat tidak harus melakukan apa pun, hal ini justru membuat gadis itu khawatir hingga terus mondar-mandir mencari hal yang bisa dibantunya. Dia sudah menawarkan bantuan dari gerbang utama sampai gerbang masuk ke gedung inti, tapi tidak ada yang membutuhkan.

Kali ketiga dia menyusuri jalanan dan tidak ada yang memberinya pekerjaan, Mia menyerah dan kembali ke kamar Alex dengan perasaan kecewa.

Bibirnya mencebik sepanjang jalan. Sementara kedua tangannya bertaut di belakang punggungnya, mengambil langkah pelan sambil menendang-nendang batu tak kasat mata.

Dia mencoba menghibur diri, barang kali dia dibutuhkan oleh Alex. Atau jika tidak dia bisa bebas mengungkapkan kekecewaannya pada laki-laki itu.

Saat masuk ke dalam, Alex terlihat masih tidur. Dia selalu mengantuk, apalagi jika sudah minum obat pagi. Alex mengeluh soal jadi Putri Tidur, tapi tidak bisa dipungkiri obat itu membuat kondisi tubuhnya jauh lebih baik dengan cukup cepat.

Raut kecewa pada wajah Mia menguap, saat dia melihat Alex yang mengernyit dalam tidurnya. Kening dan kerah bajunya basah karena keringat dingin yang mengucur. Napasnya satu-satu, sementara kepalan tangannya mengepal keras.

Gadis itu segera mendekat dan mengguncang tubuh Alex agar terbangun. Beberapa kali dia memanggil nama laki-laki itu, tetapi sulit menerima jawaban darinya.

"Alex!" Mia nyaris berteriak, barulah usahanya membuahkan hasil. Mata gelap milik Alex menatap liar ke seluruh ruangan. Seperti mencari-cari sesuatu yang membuatnya terlihat marah seperti ini.

Kesadarannya kemudian kembali setelah mata lelaki itu bertumpu kepada gadis berambut coklat yang dikucir rendah, yang kini tengah menatapnya dengan penuh rasa khawatir.

Alex mulai mengerang. Sangat kesal hingga dia meninju kasur di sebelahnya dengan kedua mata terpejam rapat.

"Alex ... itu hanya mimpi." Mia berbisik dengan suara yang sangat halus tapi berhasil memotivasi Alex untuk berusaha tenang.

Laki-laki itu mengatur napasnya. Perlahan, mencoba melenyapkan gambaran menjijikkan yang dilihatnya dalam mimpi.

Sebuah mimpi ketika dia tidak mampu melakukan apa pun sementara Tyaga melakukan hal menjijikkan pada Mia yang dia ingat saat masih berada di Eagle Eyes.

Mimpi itu terlalu nyata hingga Alex benar-benar ingin merangkak ke penjara bawah tanah sana, dan menghabisi si brengsek itu dengan kedua tangannya sendiri.

Cerita Davine tentang hidup Mia bersama Eagle Eyes kembali hidup dalam mimpinya, apalagi sejak Alex dan Mia kembali bicara sejak malam di kamar mandi itu. Dan kebenciannya kepada laki-laki seperti Tyaga membuat mimpi itu menjadi dua kali lipat lebih liar dan menyulut emosi.

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang