Chapter Twenty: The Plan

1.7K 333 64
                                    

Dari celah pintu tenda, Steven memberi tanda pada pemimpin kelompoknya, "Damien, dia datang ingin menemuimu."

Wajah datar Damien seketika diselimuti senyum lebar, buru-buru dia meletakkan mug kaleng berisi teh hangatnya, kemudian berdiri menyambut tamunya yang mulai masuk ke dalam tenda tempat tinggal sementara kelompok mereka selama berada di wilayah ini.

"Alex! Aku menanti kehadiranmu. Silakan duduk." Damien kemudian melihat ke belakang Alex, dan saat tidak menemukannya dia mentap Eric yang masih berada di sebelah lelaki dari Evidence itu. Eric yang paham, hanya menggeleng pelan.

"Kau datang sendiri?"

"Seperti yang kau lihat. Kenapa kau mengharapkan orang lain?" tanya Alex, begitu dia duduk di depan Damian, tersenyum tipis. Satu meja kayu kecil berada di antara mereka. Kruk yang membantunya berjalan dia sandarkan di sisinya.

Damien menggeleng, senyum masih betah berada di wajahnya. "Tidak. Aku pikir kau bersama gadis yang selalu denganmu itu."

Alex menatap Damian cukup lama dengan senyum tipis seperti menilai sesuatu. Sebelum akhirnya dia mengedikkan bahu dan menjawab tanpa basa-basi, "Tidak. Bisa kita langsung mulai sekarang?"

"Tentu-tentu." Damien memberi kode tangan kepada Eric, yang kemudian mengeluarkan sebuah perkamen lebar yang dibentang di atas meja di depan mereka.

"Seperti yang pernah kukatakan padamu sebelumnya, aku punya map yang mirip dengan yang diberikan kepadamu oleh orang di balik dinding itu. Kudengar dia saudara laki-laki dari perempuan itu?"

Alex tidak menjawab dan hanya memperhatikan map yang ada di depannya. Ini jelas sama dengan map yang dimiliki kelompok mereka, yang diberikan kepadanya oleh Davine tapi persebaran titik merah sebagai penandanya jelas berbeda.

"Apa yang mereka tandai di sana?"

Kedua alis Damien terangkat, bibirnya mencebik sedikit, "Kalau ini negosiasi resmi, aku tidak akan memberitahumu apa pun sampai kau juga menunjukkan map yang kau punya. Kau pasti tahu peraturan dasarnya kan, Alex."

Begitu kalimat itu di lontarkan, Eric yang terjebak dalam ruangan yang sama dengan kedua orang itu semakin gelisah. Keringat dingin mulai membasahi belakang lehernya, ada ketegangan yang siapa pun bisa rasakan antara Alex dan Damien. Dan sepertinya Damien tidak peduli dengan itu.

"Ya kalau ini negosiasi asli. Tapi karena bukan, dan karena hubungan kita harus dilandasi kepercayaan, tentu aku akan menjelaskannya padamu. Aku hanya berharap kau juga seperti itu." Dia terkekeh sendiri. Menjawab cepat meski tanpa gugup, mengakhiri keheningan yang begitu pekat meski hanya beberapa detik. "Mereka menandai saluran air."

"Saluran air?" ulang Alex pelan.

"Ya, semua saluran pembuangan air dan limbah yang bermuara ke laut dan terhubung langsung ke balik dinding. Rencanaku adalah, serangan yang tidak pernah mereka duga. Sudah ada beberapa orang yang memeriksa kebenaran informasi dari map ini."

"Akurat?"

"40%"

Dengan alis bertaut, Alex menatap Damien kembali. Itu terlalu rendah. Damien mengangkat kembali gelas kalengnya dan menyesapnya pelan. Memberi tanda kepada Eric yang bergegas menuangkan teh ke gelas serupa dan meletakkannya ke depan Alex.

"Aku bilang 40% karena ada beberapa titik yang sudah ditutup secara permanen, tidak ada yang bisa masuk lewat jalur itu kecuali kau mau meledakkannya dan memberi tanda atau peringatan kepada mereka tentang kedatangan kita. Tapi masih ada jalur yang terbuka yang bisa dimasuki beberapa orang."

Alex mengangguk paham. Bola matanya sama sekali tidak dapat melepaskan peta di hadapannya. Ini benar-benar rencana yang cukup menjanjikan.

"Apa rencanamu?"

"Rencanaku mudah, masuk ke dalam letakkan beberapa bahan peledak ke titik titik fatal di dalam sana, buat mereka lemah then we can give them the taste of their own medicine to make everything more theatrical and interesting," ucapnya, senyumnya berubah menjadi lebih gelap dari sebelumnya, yang Alex ketahui adalah ekspresi asli Damien.

Alex mengangguk, menyukai apa yang dia dengar meskipun dia merasa tidak bisa mempercayai laki-laki di hadapannya ini 100%. Tapi dia ingin sekali melihat orang-orang di balik dinding itu merasakan teknik yang selalu mereka lakukan pada kelompok-kelompok yang jatuh ke dalam perangkap mereka. They need to be humble really quick.

"Kapan?"

"Secepatnya. Paling lambat bulan depan begitu persiapan bahan peledaknya selesai." Damien menjawab tanpa ragu.

Mendengar itu, Alex mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku mendukung rencanamu, apa pun reaksi dan hasil rapat nanti aku bersedia menjadi bagian dari rencana ini."

Damien tersenyum, menyilangkan kaki sambil menyatukan kedua tangan di depan perutnya. "Aku senang sekali mendengar itu. Aku harap respons seperti ini juga yang akan diberikan aliansi besok, dan tidak ada perpecahan. Aliansi ini kuat karena kelompok kalian punya keunggulan masing-masing."

Alex mengangguk. Dia tidak yakin kalau Jhonny akan menyetujui rencana ini begitu saja tanpa pertimbangan. Tapi apa pun yang diputuskan Evidence, Alex tahu apa yang harus dia lakukan meski itu berarti dia akan dibuang dari kelompok ini walau kecil kemungkinan. Selama ini aliansi hanya bertahan, bertahan dari gempuran membabi buta orang-orang di balik dinding, bertahan dari kelaparan serta penyakit. Dunia ini tidak akan berubah jika mereka terus berada di zona aman.

Dia hanya berharap satu orang untuk terus mengikutinya ...

"Gadis itu, Mia kan? Dia adik dari petinggi di balik dinding itu, apa itu benar?"

Nama Mia berhasil menarik perhatian Alex kembali ke Damien.

"Badannya kecil sekali, aku takjub dia bisa bertahan sejauh ini di dunia yang seperti neraka ini. Dan matanya, membulat tiap dia ketakutan. Apa dia sering seperti itu?" Tanya laki-laki itu penuh minat.

Alex sama sekali tidak menjawab. Suasana mencekam selama 20 detik, dan itu terasa sangat lama.

Damien sepertinya sadar kalau Alex tidak akan memberikan jawaban yang dia mau. Kedua alisnya terangkat bingung. Walau entah kenapa, Alex yakin dia sama sekali tidak sebingung yang ditunjukkan ekspresinya.

"Hmm? Oh, apa aku mengatakan hal yang salah?"

Alex menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Dan saat hembusan napasnya itu pula senyum miring perlahan terbit dari bibirnya. Meremehkan akting payah Damien. Alex menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi, sambil menatap Damien tanpa berkedip. Kruk yang berada di sebelahnya tidak mengurangi aura intimidasi dari gestur dan nada bicaranya. "Aku hanya berpikir kau sepertinya berminat pada sesuatu yang tidak seharusnya ... dan aku tidak menyukainya, Damien."

"OH! Astaga, tidak-tidak, kau salah paham. Tentu saja aku tahu kalau dia bersamamu. Aku tidak akan lancang, mencuri dari tuan rumah yang menjamuku." Damien menggeleng, matanya membulat, dan akting payah itu semakin membuat Alex kesal.

"Benar. Dia bersamaku. Jadi menjauhlah darinya."

Damian mengangkat tangannya, seperti gestur menyerah. "Pesan dimengerti. Aku tidak akan berani."

"Kalau tidak ada lagi yang akan dibicarakan, aku pergi dulu."

Damien mengangguk. Kepergian Alex diantar oleh Stevan, sementara Eric bertahan di dalam tenda lebih lama.

Dia mengerikan, batin Eric yang terjebak dalam atmosfer tidak mengenakan yang baru saja berlalu. Pandangannya kemudian jatuh pada Damien yang masih belum beranjak dari posisinya, tapi dia juga gila.

"Cari tahu tentang gadis itu."

Eric mengangguk, sebelum ikut keluar dari tenda.

"Aku tidak akan melanggar janji kalau dia menawarkan diri kan?" Damian tersenyum di balik mugnya.

***
Gimana gaes? Oke gak?

Btw kalian follow IG aku gak seh: raatommo

Kalau belum follow yak ekek see ya next time!

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang