Chapter Four: The Approval

10.2K 2.1K 196
                                    

This chapter might containt lots of error. Just show me where, and I'll fix it later when I'm done with real life problem. Thanks.

***

MIA

Badanku nyaris terjerembab kebelakang ketika berusaha berdiri dari posisi berjongkok sambil mengangkat dua ember air besar sekaligus jika saja bukan karena seseorang yang menahan punggungku.

"Kau baik-baik saja doll face?"

Aku menoleh ke belakang, ke arah Rick Survivor berbadan besar berkulit hitam dengan kepala plontos. Cengiran lelah terukir di wajahku.

"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Rick."

Dia mengangguk lalu menunduk melihat bawaanku, "Sepertinya bawaanmu itu lebih berat daripada timbanganmu. Biar kuangkat untukmu."

"Jangan!" Seruku panik, Rick bahkan sampai melihatku aneh. Aku kemudian buru-buru menjelaskan, "Maksudku, tidak usah. Biar aku saja."

Rick mundur tapi dia tetap berdiri di sana, untuk melihatku yang nyaris mengeluarkan semua isi perutku ketika berusaha keras mengangkat kedua beban ini. Napasku langsung terengah-engah begitu kedua ember ini terangkat, dan dengan langkah kecil-kecil aku langsung bergegas berjalan ke dalam gedung.

Saat genggaman tanganku mulai terasa sakit, buru-buru kuturunkan benda itu dan istirahat sebentar. Aku kemudian menoleh ke belakang, melihat Rick yang masih berdiri di sana.

Alisku bertaut.

"Kau cuma berjalan lima langkah." Katanya seperti membaca pikiranku. Rasanya aku kepingin menangis mendengarnya.

Kukuatkan lagi mentalku yang remuk seperti biskuit sarapanku tadi pagi, dan kembali berjuang mengantar dua ember air ini ke lantai lima. Dengan langkah yang lebih lebar, agar lebih cepat sampai.

"Kalau seperti itu kau bisa jatuh." Kalimat Rick belum selesai tapi aku sudah tersungkur.
Menumpahkan seluruh isi airnya dan mengotori bajuku dengan tanah.

Sekarang aku tahu rasanya jadi Cinderella. Di era akhir zaman.

"Tanganku sakit sekali!" Kupeluk kedua tanganku yang berbirat merah karena gagang besi ember-ember yang kupegang.

"Sudah kubilang biar kubantu tapi kau tidak mau." Dia menggeleng tapi berjalan mendekat, "Kurasa benar apa kata temanku, kalau wanita bilang tidak artinya iya. Kalau wanita bilang tidak usah bantu maka artinya..."

Suara letusan menghentikan perkataannya. Aku menengadah ke lantai atas, namun tidak ada siapapun yang terlihat selain moncong senapan yang kini berasap.

Tentu saja bukan burung di atas langit yang menembakkannya. Lagipula tidak ada burung...

Kami saling pandang, lalu aku berusah bangkit sendiri.

"Akan ku isi lagi airnya." Kataku bergegas.

"Aku juga harus patroli." Rick berjalan ke arah lain.

***

Keesokan harinya, Annona tidak menyuruhku mengangkat air ke lantai lima lagi. Tapi justru menurunkan apa yang sudah kunaikkan kembali ke tangki di lantai tiga. Sendirian.

Jika kukatakan aku baik-baik saja menghadapinya, maka aku berbohong. Karena pada kenyataannya, aku mulai sakit jiwa menerima perintah-perintah yang tidak masuk akal ini. Sejak Annona menyuruhku mengasah belatih-belatihnya dan gagal kuselesaikan tepat waktu dia seperti mencari cara untuk membuatku mati tanpa harus dibunuh.

Memang Annona tidak menghukumku seperti apa yang pernah dikatakannya, tapi semua perintah mustahil ini justru terasa lebih buruk dari ancaman itu.

"Mia? Maaf aku menabrakmu." Carlos tiba-tiba muncul dari balik pintu lantai lima ini, mengejutkanku dan membuat seperempat air dalam emberku tumpah. Aku menoleh ke arah Annona yang bahkan tidak melirik kemari.

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang