Chapter Sixteen : The Reconciliation

3.3K 655 210
                                    

Mia

"Mereka sudah tiba di sini. Kelompok terbesar yang pernah kulihat."

Adalah kalimat yang aku dengar samar di tengah malam itu. Carlos sepertinya kembali ke kamar yang dia tempati bersama Annona ini, dan sekarang sedang duduk di ruang yang ditata seperti ruang makan dengan meja dan empat kursi kayu mengelilinginya, tak jauh dari sofa yang aku tempati sebagai tempat tidur malam ini. Tapi posisi mereka yang membelakangi membuatku bebas membuka mata untuk mendengarkan lebih lanjut. 

"Aku melihatnya dari balkon. Rasanya penasaran dari mana mereka mendapat semua peralatan itu." Itu Annona, meski suaranya jauh lebih halus dari biasanya.

"Ya, semua alat berat itu, ada yang cerita kalau mereka membawa RPG dan kemungkinan mereka tidak membawa semua yang mereka punya cukup menakutkan. Aku hanya berharap kita tidak benar-benar berada di pihak yang bersebrangan dengan mereka."

"Memang akan merepotkan." Begitu Annona menjawab, terdengar suara dentingan pelan kaca. Mungkin alat makan atau minum. 

Carlos terdengar menghela napas, "Besok pasti akan melelahkan." Lalu mendadak dia menoleh ke belakang untuk melihatku, membuatku reflek memejamkan mata kembali. "Aku jadi teringat kalau Jhonny ingin dia membantu Alex besok ke ruang pertemuan." 

Penurturan Carlo membuat gejolak rasa kesal dalam dadaku kembali hadir. Aku masih marah pada Alex, tapi sepertinya tidak ada pilihan.

"Dia cerita sesuatu tentang pertengkarannya dengan Alex?" tanya Carlos, bisa kubayangkan dia menunjukku dengan dagunya.

Annona hanya mendengus.

"Tidak? Sayang sekali. Kukira kalian akrab. Aku tahu kau menyukainya kan?" Nada bicaranya seperti mengandung senyum.

"Aku tidak menyukai siapa pun."

"Termasuk aku?"

"Terutama kau," lalu aku mendengar suara kecupan sekilas yang berlangsung selama beberapa menit. Membuatku semakin yakin untuk tidak membuka mata sampai tidak mendengar suara-suara itu lagi. Dalam hati berdoa semoga mereka ingat kalau aku masih ada di sana.

Setelah suara kecupan-kecupan basah itu berhenti, Annona adalah orang pertama yang kudengar bicara, "Alex butuh sesuatu yang membuatnya berpikir sebelum melakukan sesuatu. Kau mungkin menyukainya, tapi Jimmy benar soal emosinya yang membawa kita ke dalam banyak masalah."

"Aku setuju," Carlos terkekeh. "Tapi kurasa kita sudah punya seseorang yang akan mengajarinya hal itu."

****

Keesokan paginya, perintah Jhonny untuk membantu Alex berada di ruang pertemuan diperjelas oleh Carlos yang datang lagi pagi itu. Pertemuan akan dimulai tengah hari dan tugasku adalah membantunya siap di sana. 

Jadi di sinilah aku sekarang, di depan pintu kamar yang kemarin kutinggalkan dengan perasaan marah besar. perlahan aku mengetuk pintu, dan menunggu.

"Masuk." Suara bariton Alex terdengar menjawab singkat. Aku menghembuskan napas panjang sebelum membuka pintu, tapi didahului oleh seseorang yang baru kali ini kulihat. Laki-laki bertubuh tinggi, sedikit lebih tinggai dari Alex, dengan kaos putih dan cargo pants hitam.

Tanpa menggerakkan kepalanya, bola matanya melihatku dari atas hingga ke bawah, seperti mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya tersenyum. 

"Tamu spesial?" Laki-laki itu menoleh ke belakang, Alex menoleh dan matanya melebar begitu sadar kalau aku ada di sana. 

"Mia?"

Laki-laki itu mengulang namaku tanpa bersuara, sebelum kembali tersenyum. Sesuatu dari dalam dirinya membuatku tidak nyaman dan ingin cepat-cepat menjauh lalu berada di belakang Alex.

"Kuharap kita punya kesempatan berkenalan di lain waktu. Untuk sekarang aku permisi dulu," ucapnya sebelum melewatiku, tanpa menyentuh dia mampu membuatku bergidik ngeri. Buru-buru aku menutup pintu, mencoba menenangkan debaran jantung.

"Kau baik-baik saja? Ada apa?" tanya Alex bingung, sudah pasti dia tidak tahu kalau temannya itu mengerikan bagiku. 

"Tidak apa-apa." Aku menjawab begitu berhasil menelan gumpalan tak kasat mata di leherku. "A-aku datang untuk membantu menghadiri pertemuan. Jhonny memintaku."

Alex menatapku lama, sebelum akhirnya mengangguk. Aku tidak mengatakan apa pun lagi, dan hanya mengeluarkan pakaian dan rompi serba hitam yang menjadi identitasnya sebagai messanger dalam kelompok. Dan sepanjang waktu melakukan itu, dia tidak mengatakan apa pun. Begitu juga denganku. 

Saat memakai sepatunya, dia menolak bantuanku dan memilih untuk duduk di tepi kasur untuk melakukannya sendiri. Aku memilih berdiri di dekat jendela sambil menatak ke arah luar untuk menunggunya selesai.

"Di mana kau tidur semalam?" tiba-tiba aku mendengar Alex bertanya, segera aku menoleh ke arahnya yang tidak melihatku, dia masih menunduk dan menggenakan sepatu booth-nya. "Carlos bilang kau meminjam salah satu tenda survivor, aku yakin dia hanya cari masalah denganku dengan mengatakan itu, tapi kalau itu benar, aku harap kau tahu kalau tempat itu berbahaya sekalipun kau masih ada di wilayah Evidance." Dia melirik ke arahku yang tidak kunjung menjawab. 

"Lain kali kalau kau marah, biar aku yang keluar. Kau tetap di sini, mengerti?"

Mataku mngerjap beberapa kali. Tepat ketika Alex meringis, menutup kedua mata dan berdecak kesal seperti menyesali dirinya sendiri. "Kalimat itu seharusnya tidak keluar seperti perintah," dia bergumam pelan. 

Aku yang diam karena masih berusaha mencerna perkataannya, sepertinya diartikan oleh Alex sebagai sebuah pengabaian. 

"Oke, tidak apa-apa kalau kau tidak mau bicara padaku. Ayo pergi ke ruang pertemuan, semakin cepat selesai semakin baik." Dia bangkit dari posisi duduknya. Alex sudah bisa berjalan sebenarnya, hanya saja dia masih menggunakan satu kruk penyanggah yang dia pakai berjalan.

"Kenapa?"

Alex menoleh. Aku mengulangi pertanyaanku, "Kenapa kau yang pergi?" 

"Kau tidak dengar ucapanku? Tempat itu berbahaya, kau bisa--"

"Kenapa kau peduli?" Entah dari mana semua keberanian ini muncul, dan tanpa sadar aku sudah menyela perkataannya. Membuat Alex terdiam sejenak. Beberapa tarikan dan helaan napas berlalu, dan yang Alex lakukan hanya menatapku. Keningnya mengkerut samar, alisnya yang tebal sedikit menukik. Dia sering menampilkan ekspresi seperti itu ketika sedang berpikir keras.

"Karena aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu," dia bergumam tapi perhatiannya tidak tertuju padaku. Gumaman itu seperti Alex yang tengah bicara pada dirinya sendiri. "Karena, kau cukup penting bagiku."

"Maaf, Mia." Perlahan dia mengulurkan tangannya yang tidak memegang kruk, ragu, tidak seperti Alex yang biasanya. Ucapan dan pembawaannya yang out of character itu bisa dibilang membuatku tidak ingin terus marah padanya. 

Lagi pula tidak ada orang yang bisa berubah sekejap mata.

Jadi aku mengulurkan tanganku, meraih ulurannya. Dan berjalan ke arah pertemuan yang mungkin akan mengubah hidup semua orang di dunia baru ini. 

***

Hi, semoga kalian suka chapter ini. Terima kasih untuk yang masih menunggu cerita ini dan mengirim pesan ke Instagram : raatommo. Oh di sana juga ada trailer singkat dari keseluruhan cerita ini yang mungkin menarik buat kalian. 

Sampai jumpa di chapter berikutnya, dan semoga lebih cepat dari chapter ini. 

- Raa




Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang