2

382 37 2
                                    
































Umpatan kasar beberapa kali terdengar disebuah kamar besar dengan berbagai alat musik yang tertata rapi di sudut ruangan. Kimhan, lelaki pemilik kamar tersebut terus mengumpati game yang tengah dimainkannya. Dirinya sudah memainkan game ini sejak dua jam lalu tanpa berhenti. Suasana hatinya buruk, inginnya pergi keluar bersenang-senang atau melakukan kegiatan apa pun, namun ancaman dari sang kakak membutanya tak bisa kemana pun dan hanya berdiam diri di dalam kamar.

“Ahh, aku bosan.” Teriakannya menggema diseluruh ruangan disertai bunyi prak di depan sana karena lelaki itu baru saja membuang ponselnya, mungkin retak, atau bahkan rusak, entahlah. “Big, apa kau punya sesuatu untuk dimainkan? Aku benar-benar bosan. Atau bisakah kita keluar? Atau ke rumah keluarga minor, aku ingin bermain dengan Vegas.” Rengekan itu keluar dari bibir Kimhan yang sekarang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur dan berguling-guling tak karuan hingga tempat tidurnya berantakan.

“Maaf, Tuan Kim. Tapi Tuan Kinn melarang anda pergi untuk sementara waktu. Apalagi bertemu dengan Tuan Vegas.” Jawab Big, penampilan lelaki itu sudah menjadi lebih baik daripada tadi dengan setelan hitam dari atas sampai bawah, sosoknya sejak tadi berdiri tak jauh dari Kim.

Kim mendecakan lidah, “Kinn sialan, bisa-bisanya dia melaku—”

“Siapa yang kau sebut sialan, bocah?” Belum sempat Kim meyelesaikan kalimatnya, sebuah suara yang sudah dihafalnya diluar kepala tiba-tiba saja terdengar dari arah pintu membuatnya refleks mendudukan tubuh. Kinn, kakak keduanya sudah berdiri di ambang pintu dengan Porsche dan Pete di samping kiri dan kanannya. Lagi-lagi dengan pose andalan, kedua tangan berkecak pinggang dengan kepalanya yang mendongak menyebalkan. Jika saja Kinn bukan kakaknya, mungkin Kim akan memukul wajah itu atau menarik rambutnya hingga rontok. Batinnya selalu berteriak nelangsa karena memiliki kakak seperti Kinn dan Tankhun, yang satu terlalu banyak aturan dan gila kerja, sedangkan yang satu terlalu membosankan karena sering menonton drama.

Helaan nafas kasar terdengar dari mulut Kim, “Tentu saja kau yang kusebut sialan. Memang siapa lagi.”

Kinn makin mengeraskan wajah ketika mendengar jawaban adiknya yang tak beradab, bisa-bisanya bocah itu menyebutnya sialan padahal seluruh hidupnya masih Kinn yang menanggung. “Aku tidak ada waktu untuk berdebat denganmu, Kim. Aku hanya ingin mengatakan bahwa ayah meyuruhku untuk pergi ke pelelangan berlian. Kau bisa ikut jika mau, tapi bisa tinggal jika tidak.”

“Kau bercanda dengan mengatakan aku tidak akan ikut. Tentu saja aku ikut.” Lelaki itu berlari menuju walk in closet dengan semangat. Meninggalkan Kinn yang menggelengkan kepala tak habis pikir dan Big yang hanya menatap datar sebab sudah biasa dengan kelakuan Kim.






























Dua bersaudara Theerapanyakul tersebut sudah sampai di tempat pelelangan, mereka berjalan menuruni tangga dengan para bodyguard yang ada di belakang mereka.

Tempat dengan pencahayaan yang tak begitu terang ini ramai dipenuhi oleh para konglomerat berdompet tebal serta berbusana mewah. Mereka seakan-akan berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang paling kaya dengan setelan dan perhiasan yang menempel ditubuh mereka. Menebar senyum palsu dan memuja satu sama lain padahal dalam hati saling mengolok.

“Sebelah sini, Tuan.” Seorang pelayan mengantarkan Kinn dan Kim ke meja yang akan mereka tempati. Sedangkan para bodyguard berpencar untuk mengawasi sekitar dan memantau keadaan. Tak banyak yang ikut malam ini, hanya Porsche, Pete, dan Big. Mereka mulai menempatkan diri di posisi masing-masing. Porsche di sebelah panggung, Pete di tangga, dan Big di pintu darurat.

Who am i? (END)Where stories live. Discover now